Jika daerah lain dikenal dengan kuliner khas berbahan baku daging, lain
halnya dengan kuliner khas Lembah Palu yang justru dikenal memiliki tradisi
unik resep mengolah tulang kaki sapi, yang disebut dengan Kaledo.
Memang, masakan Kaledo tidak berati hanya berisi tulang kaki untuk dimakan.
Melainkan tulang rawan, sisa daging dan yang paling utama adalah sunsum kaki
sapi, yang dimasak asam.
Resep kuliner Kaledo sangatlah sederhana, namun, meski sederhana jika salah
proses masak, maka rasa Kaledo tidak akan sempurna. Dan keunikan
dan keutamaan Kaledo terletak pada sunsum
tulang kaki sapi.
Kaledo juga telah menjadi ikon kuliner
Kota Palu. Dan dibalik rasanya
yang khas itu, terdapat rangkaian kisah perjalanan peradaban etnis Kaili di
Lembah Palu.
Bagaimanakah
perjalanan itu, berikut penuturan seorang budayawan dan pemerhati sejarah
Sulawesi Tengah, Pantjewa.
Sebagian
orang sering menyebut, bahwa Kaledo
merupakan akronim dari Kaki
Lembu Donggala. Untuk masa kini, arti tersebut ada benarnya, namun jika ditinjau dari sisi sejarah tidak tepat.
Pantjewa menyebut lahirnya Kaledo bersamaan dengan
tumbuhnya budaya Kaili – Kulawi
di Lembah Palu.
Kata Pantjewa, sebelum masuknya (intervensi) ajaran Islam pada abad 16 di Lembah
Palu, etnis Kaili dan Kulawi masih hidup
dalam masa pra sejarah atau menganut paham animisme. Pada masa itu, masyarakat Lembah
Palu dengan segala kondisi geografis yang didominasi panas, perbukitan dan
hutan, sehingga banyak hewan yang tinggal dilembah ini.
Namun pada masa itu, masyarakat animis Lembah Palu telah
mampu menciptakan satu resep masakan, dengan bahan dasar potongan kaki hewan,
yang diolah secara sederhana. Sederhana, karena bumbu utama yang dibutuhkan
hanya asam muda, garam, cabe segar (diutamakan yang masih hijau), serta satu
jenis tumbuhan yang dominan hidup di lereng-lereng pegunungan, orang Kaili
menyebut dengan Tava Nusuka.
Pada
masa itupula, Kaledo yang dibuat masyarakat etnis Kaili, berbahan dasar potongan
kaki berbagai jenis hewan yang banyak hidup di daerah ini,
seperti Kaki Kambing atau kaki Babi hutan dan lainnya.
Dan
seiring perkembangan budaya hidup masyarakat, utamanya setelah ajaran Islam
masuk pada abad-16. Maka bahan baku Kaledo hanya
berasal dari kaki sapi.
Pada masa itu pula, selain Kaledo masyarakat juga telah mengolah organ
tubuh sapi lainnya yang disebut dengan Uta Poiti dari daging murni, jeroan
serta potongan tulang.
Jadi, selain sama dalam hal resep dan bumbu yang digunakan, perbedaannya
adalah, jika Uta
Poiti selain menggunakan potongan tulang yang masih tertempel daging, ditambah
dengan daging murni serta jeroan. Sedangkan pada masakan Kaledo, murni menggunakan
potongan Kaki Sapi.
-
KALEDO SAJIAN KEHORMATAN
Dahulunya,
Kaledo merupakan sajian kehormatan oleh para raja-raja di Lembah Palu bagi para
tamu kehormatan dari kaum bangsawan yang disebut dengan Toma Oge atau Toma Langgai
atau Langga Nunu. Biasanya, mereka
adalah para pembesar dari sub-sub kerajaan di lembah Palu.
Pada
jamuan-jamuan makan yang diselenggarakan, para tamu dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan
status sosial undangan. Untuk raja atau pembesar kerajaan, jamuan makan bersama
raja berlangsung didalam ruangan rumah (Rara
Banua). Untuk para punggawa kerajaan, jamuan makan berlangsung di teras
rumah (Ri Tambale), sedangkan untuk
rakyat biasa jamuan makan berlangsung di halaman rumah (Ri Poumbu).
Selama
acara jamuan makan, ada etika yang harus dipatuhi seluruh peserta, yakni acara
makan harus diawali oleh pembesar, dan jika sang pembesar (Toma Oge) belum selesai makan maka peserta tidak boleh berhenti makan,
boleh berhenti dengan syarat tidak boleh cuci tangan.
Jika
ketentuan tersebut dilanggar peserta, maka pelaku akan dikenai sangsi adat atau
denda yang disebut dengan Givu atau Sompo. Sanksi
atau denda bisa berupa sejumlah uang atau hewan ternak seperti Kerbau, besaran
denda disesuaikan dengan kondisi ekonomi peserta.
-
TEHNIK MEMASAK
Para
juru masak Kaledo masa lampau dan sekarang memiliki cara mengolah kaki lembu
yang sedikit berbeda. Para juru masak masa lampau, akan memasak satu potong
penuh ekor sapi, sedangkan masa kini kaki sapi yang dimasak telah
dipotong-potong terlebih dahulu.
Kesamaannya
adalah, tulang kaki yang telah dibersihkan dari kulit, hanya dimasak jika air
dalam belanga telah mendidih, agar tulang kaki sapi tidak berbau amis. Setelah
masak dalam hitungan waktu berdasarkan naluri juru masak, tulang diangkat dan ditiriskan.
Begitupun
ketika memasak bumbu, seperti garam dan cabe, bumbu yang telah ditumbuh halus
baru dimasukan kedalam belanga juga setelah air mendidih. Khusus untuk asam, yang
digunakan hanya asam mentah.
Asam
mentah dimasak terlebih dahulu hingga lunak. Selanjutnya dikupas dan remas
kemudian disaring untuk diambil air perasannya saja.
Juru
masak pada masa lampau, menggunakan daun khusus sebagai penyedap yang disebut Tava Nusuka, sayangnya Pantjewa
kesulitan meterjemahkan arti tumbuhan ini dalam Bahasa Indonesia.
Juru
masak masa kini sudah tidak lagi menggunakan Tava Nusuka, karena selain langka juga karena juru masak sekarang
lebih menyukai penyedap modern.
Setelah
juru masak merasa Kaledo telah matang, juru masak akan melakukan uji rasa atau mencicipi
masakan (Nipesana).
-
PENYAJIAN
Pada
masa kerajaan, Kaledo disajikan dalam satu wadah yang disebut Dula Mpanganggu. Kaledo, tidak hanya
bisa dinikmati dengan nasi, tapi masyarakat Lembah Palu, dari dulu hingga
sekarang lebih suka menikmati dengan Kasubi
(Singkong kukus), atau Loka Pagata (jawa: pisang kepok), yang ditempatkan
dalam Dula Mpokada atau Dula Palanggu (bakul dari kuningan
berkaki). Seluruh masakan yang disajikan dengan alas dan penutup daun pisang.
Hidangan
tidak dinikmati dengan mencampur langsung seluruh sajian dalam piring,
melainkan dengan diisi pada piring atau mangkok kelapa (ri banga nggaluku).
Peserta
jamuan mengambil sedikit demi sedikit ubi atau pisang, kemudian menyeruput Kaledo
ri banga nggaluku. Dengan begitu, masakan
tidak akan dikerubuti lalat dan bebas
debu. Selain itu, masakan yang tersisa bisa dibawa pulang.
Pada
masa sekarang, inovasi masakan Kaledo tidak hanya pada campuran bumbu. Sejumlah
warung makan yang menyajikan masakan Kaledo dan melakukan inovasi dengan menghilangkang
tulang, yang disebut Kaledo Talang atau tanpa tulang.***
0 komentar:
Post a Comment