Setelah menempuh perjalanan menggunakan kendaraan roda empat
dari Kota Palu sekira 8 jam, dari Kota Palu menuju Kolonodale, rombongan kunjungan
media ke komunitas Taa Wana Posangke yang difasilitasi Yayasan Merah Putih
(YMP), saya, penulis sebagai jurnalis di Harian Metro Sulawesi dan kontributor Media Indonesia untuk
Sulawesi Tengah M Taufan SP Bustan
bersama dengan driver dan Manajer Informasi dan Kampanye YMP Kiki Rizki Amelia
menyempatkan diri untuk berkunjung ke kediaman jurnalis senior Sulteng, Erick
Tamalagi.
Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Baturube, disertai
Koordinator Skola Lipu Abdul Ghofur dan Manajer Kantor Lapangan Morowali Utara
YMP, Supardi Lamasing menggunakan kapal kayu dengan biaya perjalanan Rp45 ribu
per orang sekira 5 jam perjalanan.
Setiba di pelabuhan penyeberangan Baturube, perjalanan
dilanjutkan menggunakan ojeg dengan ongkos Rp80 ribu menuju Desa Taranggo,
selama kurang lebih 2 jam perjalanan melintasi sekira 6 desa, yang luas
administrasi wilayah masing-masing desa mencapai luas satu kecamatan di Kota
Palu, dengan kondisi jalan yang sebagian besar belum beraspal dan berlubang.
Setiba di desa terakhir, Taranggo, rombongan beristirahat
sejenak di rumah orang Taa yang sudah bermukim di desa, Apa (papa) Ketong untuk makan siang. Dan
dengan disertai mitra YMP; Indo (ibu)
Imel melanjutkan perjalanan menuju Lipu – Lipu (dusun) tujuan, yang terletak di
kaki gunung dengan berjalan kaki Gunung
Tokala dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Salato
yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, yang untuk mencapai Lipu Sumbol; lipu tujuan pertama.
**
Begitu kaki terjejak di kawasan hutan adat Taa Wana Posangke, bentang alam yang
kolaborasi hijau pepohonan, tebing dan riak aliran sungai Salato jadi bonus
awal rangkaian perjalanan panjang dan melelahkan dari Palu – Kolonodale –
Baturube, subhanalloh.
Aliran sungai Salato seluas kurang lebih 100 meter sedalam
hingga sepaha orang dewasa itu, yang harus kami seberangi hingga empat kali,
seolah tak ingin menghalangi aneka warna bebatuan di dasarnya, pun dengan
ikan-ikan yang berseliweran di dalamnya.
Padi ladang tanaman orang Wana Posangke sedang menghijau
daunnya, setelah setahun sebelumnya kawasan perladangan itu kering akibat musim
panas yang panjang. Sehingga hasil pertanian padi Ladang tahun 2015 lalu sangat
kecil.
Penulis di salah satu rumah tau taa wana posangke |
**
Segala yang nampak pada pandangan mata; pada perjalanan itu
sekaligus jadi bukti, bahwa orang Taa Wana Posangke hidup harmonis dengan alam
tempat mereka tinggal. Seolah saling membutuhkan, saling memberi dan saling
menerima antara mereka.
“Waktu ada kebakaran hutan, kalau tidak ada mereka
barangkali sudah habis hutan ini, untung ada mereka sehingga api tidak sampai
menjalar jauh,” kata Koordinator Skola Lipu, Abdul Ghofur.
“Kami cuma pakai yang ada saja,” tambah Apa Ugo, tokoh Lipu
Sumbol.
Keramahan dan keakraban orang Taa Wana Posangke dengan alam
sekelilingnya juga nampak jelas dari bantaran Sungai Salato, ini terlihat dari
pepohonan tinggi menjulang disepanjang pinggir sungai.
Sekira pukul 16:00 rombongan tiba di Lipu Sumbol, dengan
tujuan rumah Apa Ugo, sebelumnya tiba di rumah Apa Ugo, kami melintas di depan Skola Lipu, yang ternyata
jadi penurun ketegangan sekaligus pembangkit semangat Taufan atau Opan, yang
terengah sedikit pucat penuh keringat, hanya dengan melihat julang pegunungan
Tokala yang menghimpit DAS Salato.
Sambut malam, kami segera menuju bebatuan besar di Sungai
Salato untuk mandi. Selanjutnya makan malam, dan malam harinya sejak sekira
pukul 20:00, puluhan Orang Wana Posangke sudah berkumpul di rumah Apa Ugo, yang
sukacita menyambut kedatangan kami, untuk membahas banyak hal tentang mereka,
apa saja?. (bersambung)
0 komentar:
Post a Comment