Masyarakat beberapa daerah di Jawa, menggunakan daun kelor untuk memandikan jenazah. Konon, penggunaan daun kelor dalam prosesi memandikan jenazah ini bertujuan untuk menggelontorkan ilmu-ilmu kedigdayaan (ilmu hitam), atau pengaruh pengaruh ilmu kadigdayaan lainnya.
Oleh sebab itu, mereka tidak memanfaatkan kelor untuk dimasak menjadi sayur. Namun, konon sebagian masyarakat di beberapa daerah di jawa, ada yang memanfaatkan daun atau buah kelor sebagai sayur.
Itulah sebagain mitos tentang daun kelor yang berkembang di daerahku, Blitar, Jawa Timur.
Namun, di daerahku saat ini, Kota Palu, Sulawesi Tengah, mitologi yang berkembang ditengah masyarakat juga berkembang jadi anekdot. Pasalnya, disebut-sebut, orang jawa di palu yang sudah makan sayur kelor tidak akan bisa pulang ke jawa. Kalaupun bisa pulang ke jawa, dia akan ingat terus palu dan kembali ke Bumi Tadulako ini.
Pernah ada orang jawa yang menjawab dengan guyonan, “Kalau dia Cuma mampu makan kelor, mana bisa dia mampu beli tiket pesawat ataupun kapal laut,”.
Maaf itu sekedar guyonan yach…
Bagi masyarakat asli Lembah Palu dari Suku Kaili, Kelor merupakan sayur terbaik dan terlezat. Kerena jika diolah melalui prosedur dan bumbu yang tepat, maka akan kita dapati sayur yang sungguh lezat. Apalagi jika sayur kelor (bahasa Kailinya Uta Kelo) disandingkan dengan sambal Duwo (penja) atau ikan asin yang dipanggang, kemudian diolesi sambal cabai rawit yang masih hijau dengan minyak kelapa tradisional.
Hhmmmm……………………
Sebagai campuran, Kelor bisa dicampur dengan Ubi Kayu (kasubi) atau Terong (palola) atau pisang sepatu/kapok muda (pisang=loka), kemudian sedikit lamale / udang kering / ebi yang berfungsi sebagai pengharum/penyedap.
Untuk mendapatkan sensasi rasa maksimal dari sayur kelor, harus menggunakan teknik yang tepat.
Bagaimanakah tekniknya?
Nantikan dalam coretan berikutnya………… :P :P :D
0 komentar:
Post a Comment