Kopi ..... ya, kopi...., Mari kita ngopi ...
Saya juga ingin seperti layaknya para penulis hebat negeri ini; salah satunya penulis idola saya ‘Gola Gong’ yang telah menuangkan pengalamannya terhadap Kopi dalam ritual kepenulisannya dalam buku dengan judul “Air Mata Kopi”.
Setelah sekira dua tahun keinginan itu kubiarkan mengendap dalam buaian kemalasan, tiba-tiba nafsu itu muncul kembali setelah kasus Kopi Sianida Jessica – Mirna.
Yah...saya juga ikutan latah pada pemberitaan Kopi Sianida, meski jika ditinjau dari News Value – nya pemberitaan yang begitu gencarnya dijejalkan media nasional kepada rakyat Indonesia, termasuk daerah saya; Kota Palu – Sulawesi Tengah.
baca juga : bangsa kopi
Jangan Minum Black Coffee – Mahal, Minum Kopi Hitam Saja – Murah
Kalimat yang kugunakan sebagai judul tulisan ini, kuambil dari cerita pengalaman saudaraku, yang mengaku kaget saat diajak temannya masuk kafe, “Mahal, lebih baik minum kopi hitam saja, murah,” ucapnya sambil tertawa lebar soal perbedaan Black Coffee dan kopi hitam.
Kenapa, meski hanya beda bahasa saja, kok harga black coffee lebih mahal, singkat cerita, menurut saya, karena kopi dan minum kopi masuk dalam salah satu gaya hidup dan identitas; manusia moderen perkotaan, sedangkan kopi hitam adalah kelas bawah.
Yah...di Kota Palu saja, begitu menjamur warung kopi, dengan segmen pengunjung yang variatif. Maksud saya adalah, ada warung kopi atau warkop yang pengunjungnya didominasi politisi, aktifis, akademisi, wartawan atau kalangan remaja ABG.
Bahkan pula, kopi dan kafe, juga jadi sumber inspirasi jadi tempak untuk melakukan tindakan melawan hukum, dalam hal ini kasus Kopi Sianida Jessica – Mirna.
Kopi juga merupakan identitas, pengalaman pribadi saya tahun 2012, sewaktu saya berada daerah ekstrans Kabupaten Morowali – Sulawesi Tengah, saya bersilaturahmi ke rumah sesepuh lingkungan setempat, kupanggil dia Lek Saring.
Beberapa saat setelah ngobrol, Istri beliau datang menyuguhkan segelas kopi. “Ah...ini kopi khas Blitar lek,” seringaiku.
“Kok tau mas?,”
“Karena saya juga asal Blitar,”
“Oalah mas, tonggo dewe to (tetangga sendiri to),” jawab lek Saring.
Dengan secangkir kopi itu pula, obrolan kami kian lekat dan pekat, mulai dari kenangan di kampung halaman, Blitar. Hingga soal politik, kebetulan waktu itu Kabupaten Morowali sedang ada gawean politik, Pilbub.
Kopi indetitas daerah, ada Kopi Toraja, Kopi Aceh, Kopi Luwah, Robusta dan lain-lain.
Dan akhirnya, mari kita ngopi, tapi “Jangan Ada Sianida di Kopi Kita”
Saya juga ingin seperti layaknya para penulis hebat negeri ini; salah satunya penulis idola saya ‘Gola Gong’ yang telah menuangkan pengalamannya terhadap Kopi dalam ritual kepenulisannya dalam buku dengan judul “Air Mata Kopi”.
Setelah sekira dua tahun keinginan itu kubiarkan mengendap dalam buaian kemalasan, tiba-tiba nafsu itu muncul kembali setelah kasus Kopi Sianida Jessica – Mirna.
Yah...saya juga ikutan latah pada pemberitaan Kopi Sianida, meski jika ditinjau dari News Value – nya pemberitaan yang begitu gencarnya dijejalkan media nasional kepada rakyat Indonesia, termasuk daerah saya; Kota Palu – Sulawesi Tengah.
baca juga : bangsa kopi
Jangan Minum Black Coffee – Mahal, Minum Kopi Hitam Saja – Murah
Kalimat yang kugunakan sebagai judul tulisan ini, kuambil dari cerita pengalaman saudaraku, yang mengaku kaget saat diajak temannya masuk kafe, “Mahal, lebih baik minum kopi hitam saja, murah,” ucapnya sambil tertawa lebar soal perbedaan Black Coffee dan kopi hitam.
Kenapa, meski hanya beda bahasa saja, kok harga black coffee lebih mahal, singkat cerita, menurut saya, karena kopi dan minum kopi masuk dalam salah satu gaya hidup dan identitas; manusia moderen perkotaan, sedangkan kopi hitam adalah kelas bawah.
Yah...di Kota Palu saja, begitu menjamur warung kopi, dengan segmen pengunjung yang variatif. Maksud saya adalah, ada warung kopi atau warkop yang pengunjungnya didominasi politisi, aktifis, akademisi, wartawan atau kalangan remaja ABG.
Bahkan pula, kopi dan kafe, juga jadi sumber inspirasi jadi tempak untuk melakukan tindakan melawan hukum, dalam hal ini kasus Kopi Sianida Jessica – Mirna.
Kopi juga merupakan identitas, pengalaman pribadi saya tahun 2012, sewaktu saya berada daerah ekstrans Kabupaten Morowali – Sulawesi Tengah, saya bersilaturahmi ke rumah sesepuh lingkungan setempat, kupanggil dia Lek Saring.
Beberapa saat setelah ngobrol, Istri beliau datang menyuguhkan segelas kopi. “Ah...ini kopi khas Blitar lek,” seringaiku.
“Kok tau mas?,”
“Karena saya juga asal Blitar,”
“Oalah mas, tonggo dewe to (tetangga sendiri to),” jawab lek Saring.
Dengan secangkir kopi itu pula, obrolan kami kian lekat dan pekat, mulai dari kenangan di kampung halaman, Blitar. Hingga soal politik, kebetulan waktu itu Kabupaten Morowali sedang ada gawean politik, Pilbub.
Kopi indetitas daerah, ada Kopi Toraja, Kopi Aceh, Kopi Luwah, Robusta dan lain-lain.
Dan akhirnya, mari kita ngopi, tapi “Jangan Ada Sianida di Kopi Kita”
0 komentar:
Post a Comment