Mungkin tak sedikitpun pernah kita sadari, dalam perjalanan pendidikan di Indonesia, entah sejak kapan itu dimulai, dan apakah hingga tahun 2016 ini juga masih digunakan, bahwa saya atau mungkin juga Anda sekalian menerima doktrin dari bapak atau ibu guru kita tentang nama Budi, Iwan adik Budi, Wati kakak budi hingga ayah, ibu, paman, bibi kakek hingga nenek Budi.
Nama Budi dan Iwan, jadi awal pelajaran Bahasa Indonesia, kemudian berlanjut ke nama-nama lainnya seiring kenaikan tingkat (kelas) pendidikan. Entah berapa tahun lamanya, nama-nama itu digunakan guru kepada murid-murid se Indonesia.
baca juga : bangsa kopi
Karena dahulunya nama dan buku tentang Budi sekeluarga yang nyaris tak pernah tergantikan oleh namanya itu, sehingga buku-buku pelajaran dulu juga tidak mengalami perubahan. Kemudian, untuk menjaga agar buku tetap rapi dan tetap dalam kondisi bagus, timbul kreatifitas para murid untuk membungkus buku itu, yang bisa menggunakan koran bekas, kalender bekas, atau kalau murid itu kebetulan dari keluarga mampu akan membeli kertas khusus untuk membungkus buku itu.
Dari situ, dalam diri murid sekolah jaman itu sudah terbangun dalam hatinya untuk cinta buku, sayang buku, dan lebih penting adalah pembelajaran yang mungkin tidak atau belum disadari dari para pendidik kala itu, tentang berbagi dengan sesama, bahwa buku yang masih dalam kondisi bagus, kelak dapat diwariskan kepada siapapun, apakah itu adik kandungnya, anak tetangga, anak keluarga, pastinya manfaat.
Itulah sedikit nilai luhur dari sistem pendidikan dulu kala, yang secara pribadi pengalaman saya adalah era 80-an hingga awal 90-an (SMP).
****
Konon katanya, tahun 1998 merupakan babak baru perikehidupan bangsa ini, yakni Era Reformasi, berlangsung Era Millenium tahun 2000. Indonesia sudah Maju?, bangsa kita kian cerdas?, dan bangsa kita semakin, semakin dan semakin.........???
Yahh...begitu katanya. Karena selain produk pendidikan era 80-an, sy juga mengalami produk pendidikan era 90-an.
Dan yang membingungkan saya adalah, pendidikan yang saat ini begitu gaduh memperdebatkan konsep hebat-hebat itu, ternyata juga justru menjungkir balikkan keadaan dan rasa keadilan. Dimana ketimpangan penganggaran dan sistem begitu nyata di depan mata.
Mulai dari kondisi sekolah, murid, fasilitas, sarana –prasarana hingga kesejahteraan tenaga didik.
Buku paket pelajaran, yang saat ini tiap catur wulan, tiap semester dan tiap tahun ajaran baru selalu berganti. Kenapa? Why? Ada apa?
Bahkan, akhir-akhir ini kegaduhan soal buku pelajaran berkembang hingga persoalan terorisme, dengan persoalan ada beberapa buku berbau ajaran radikalisme, ataupun berbau porno hingga penyimpangan-penyimpangan nilai adat dan budaya ketimuran.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, yang berkawan dengan beberapa kontraktor, maupun sejumlah orang yang bekerja sebagai perwakilan penerbit buku-buku pelajaran. Jika buku-buku paket pelajaran itu masih menggunakan sistem seperti era 80-an, nampak bahwa ada pertarungan kapitalis di dalamnya.
Nama Budi dan Iwan, jadi awal pelajaran Bahasa Indonesia, kemudian berlanjut ke nama-nama lainnya seiring kenaikan tingkat (kelas) pendidikan. Entah berapa tahun lamanya, nama-nama itu digunakan guru kepada murid-murid se Indonesia.
baca juga : bangsa kopi
Karena dahulunya nama dan buku tentang Budi sekeluarga yang nyaris tak pernah tergantikan oleh namanya itu, sehingga buku-buku pelajaran dulu juga tidak mengalami perubahan. Kemudian, untuk menjaga agar buku tetap rapi dan tetap dalam kondisi bagus, timbul kreatifitas para murid untuk membungkus buku itu, yang bisa menggunakan koran bekas, kalender bekas, atau kalau murid itu kebetulan dari keluarga mampu akan membeli kertas khusus untuk membungkus buku itu.
Dari situ, dalam diri murid sekolah jaman itu sudah terbangun dalam hatinya untuk cinta buku, sayang buku, dan lebih penting adalah pembelajaran yang mungkin tidak atau belum disadari dari para pendidik kala itu, tentang berbagi dengan sesama, bahwa buku yang masih dalam kondisi bagus, kelak dapat diwariskan kepada siapapun, apakah itu adik kandungnya, anak tetangga, anak keluarga, pastinya manfaat.
Itulah sedikit nilai luhur dari sistem pendidikan dulu kala, yang secara pribadi pengalaman saya adalah era 80-an hingga awal 90-an (SMP).
****
Konon katanya, tahun 1998 merupakan babak baru perikehidupan bangsa ini, yakni Era Reformasi, berlangsung Era Millenium tahun 2000. Indonesia sudah Maju?, bangsa kita kian cerdas?, dan bangsa kita semakin, semakin dan semakin.........???
Yahh...begitu katanya. Karena selain produk pendidikan era 80-an, sy juga mengalami produk pendidikan era 90-an.
Dan yang membingungkan saya adalah, pendidikan yang saat ini begitu gaduh memperdebatkan konsep hebat-hebat itu, ternyata juga justru menjungkir balikkan keadaan dan rasa keadilan. Dimana ketimpangan penganggaran dan sistem begitu nyata di depan mata.
Mulai dari kondisi sekolah, murid, fasilitas, sarana –prasarana hingga kesejahteraan tenaga didik.
Buku paket pelajaran, yang saat ini tiap catur wulan, tiap semester dan tiap tahun ajaran baru selalu berganti. Kenapa? Why? Ada apa?
Bahkan, akhir-akhir ini kegaduhan soal buku pelajaran berkembang hingga persoalan terorisme, dengan persoalan ada beberapa buku berbau ajaran radikalisme, ataupun berbau porno hingga penyimpangan-penyimpangan nilai adat dan budaya ketimuran.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya, yang berkawan dengan beberapa kontraktor, maupun sejumlah orang yang bekerja sebagai perwakilan penerbit buku-buku pelajaran. Jika buku-buku paket pelajaran itu masih menggunakan sistem seperti era 80-an, nampak bahwa ada pertarungan kapitalis di dalamnya.
0 komentar:
Post a Comment