![]() |
Penulis kaos biru bersama masyarakat pedalaman Tau Taa Wana Posangke |
Saat tiba di rumah Apa
Ugo, tempat kami menginap yang juga adik Indo Imel, saya dan Opan sempat bingung rumah-rumah di Lipu Sumbol. Pasalnya, jarak antar rumah
yang kami lewati lebih dari 500 meter, itupun tidak mencapai 8 – 10 rumah.
Tapi, begitu malam menyelimuti Lipu yang dikelilingi jurang
dan tebing Gunung Tokala, sejumlah pria wanita dan anak-anak telah naik ke
rumah Apa Ugo, namun segera turun kembali begitu mereka mengetahui kami hendak
makan malam, meski dengan senang hati kami ajak mereka turut serta menikmati
menu yang disiapkan Murni, Indo Imel dan Kiki, mereka tetap memilih menunggu di
luar.
Usai kami makan, satu persatu warga Lipu Sumbol kembali
masuk ke dalam rumah. Mereka nampak akrab dengan Koordinator Skola Lipu Yayasan
Merah Putih (YMP) Abdul Ghofur dan juga manajer kantor lapangan YMP Morowali
Utara, Supardi Lamasing. Wajar, karena kedua aktifis lingkungan tersebut telah
berinteraksi dengan mereka sejak tahun 2011.
Bahkan, Abdul Ghofur atau yang dipanggil orang Wana Posangke Apa Pram, mencampur komunikasi verbal
dengan bahasa Taa. Pun pula dengan Supardi Lamasing atau Apa Gading. Kedua orang ini nampak lekat dengan kehidupan orang Taa
Wana Posangke.
Kini kami berkumpul, membentuk lingkaran dalam rumah
panggung sederhana itu, diterangi cahaya lampu modifikasi alat strum ikan, bukan
lagi lentera minyak.
Selanjutnya, Apa Gading mempersilahkan Kiki Rizki Amelia
yang telah dipanggil mereka dengan Indo
Ghazi, untuk membuka ramah tamah itu untuk menyampaikan maksud dan tujuan
kunjungan itu ke lipu-lipu di Posangke.
Sayangnya, warga Lipu Sumbol nampak malu-malu untuk
memperkenalkan diri mereka. Tiba giliran saya dan Opan, Indo Imel menanyakan nama anak pertama saya dan Opan, setelah kami
sebutkan nama-nama anak kami. Sejak saat itulah, panggilan saya Apa Azzam, dan Opan menjadi Apa Cesar.
Dari situ kami mengetahui, panggilan seseorang yang telah
menikah dan telah memiliki anak, dilekatkan dengan nama anak pertama, Apa atau bapak dan Indo untuk ibu.
**
Sesaat kemudian, Apa
Ugo meletakkan dua botol bekas kecap, berisi air berwarna putih keruh,
mereka menyebutnya Pongas, yang
merupakan air fermentasi tape ketan ladang. Aroma tape cukup kuat tercium dari botol
itu, sedikitpun tak tercium aroma minuman beralkohol, itulah menggodaku untuk
mengicip.
Cuaca dingin membuat Pongas itu layaknya saya makan tape, dan
ternyata Pongas merupakan minuman
tradisional yang sering disamakan dengan minuman berarkohol lainnya.
**
Obrolan kian akrab, panjang dan melebar, tawa lepas dari
mereka cukup menghibur perjalanan nan panjang dan melelahkan kami.
“Dulu...satu tahun panen padi ladang kami bisa dapat seratus
ikat, sekarang hanya bisa dapat 40 ikat, itu masalah kami,” tanya Apa Ester.
Pertanyaan itu jadi pembuka diskusi cukup panjang antara
kami dengan mereka, ada kegelisahan dari mereka dengan hasil panen mereka yang
menurun drastis. Tapi, menurut Apa Gading dan Apa Pram, memang kemarau panjang
di tahun 2015 sangat berpengaruh terhadap hasil panen padi ladang mereka, yang
hanya mengandalkan air hujan.
Namun, jika diperhatikan dari tumpukan botol-potol pestisida
pembunuh rumput, menunjukkan bahwa lahan dan cara bertani mereka telah tersentuh
pola bertani masyarakat luar.
“Ya, memang sekarang ini kami sudah banyak yang terpengaruh
dengan hal-hal dari luar, padahal kami sendiri belum mengerti akibat dari
menggunakan racun rumput itu,” kata Indo Imel.
Setelah melalui diskusi panjang tentang pertanian mereka, selain
seolah mereka sadar, jika sebenarnya mereka memiliki cara yang jauh lebih bagus
untuk menjaga kondisi tanah pertanian mereka.
Mereka juga mulai berpikir, bahwa segala yang nampak bagus
diluar itu tidak semuanya bagus untuk mereka. Termasuk dengan keinginan dan
permintaan orang Taa Wana Posangke ke YMP untuk menolong mereka dalam hal tulis
menulis, hingga berdirilah Skola Lipu. Bagaimana? (bersambung)
0 komentar:
Post a Comment