*Jangankan Cari Ikan, Pohon Pun Hilang Menjadi Tanah Merah
KBRN,Pontianak : Kerusakan lingkungan akibat pertambangan bauksit di Desa Semenduk Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, semakin menjadi. Kendati aktifitas tambang terhenti akibat aturan Smelterisasi, namun sisa –sisa pencemaran tanah dan air bahkan hilangnya danau yang berubah menjadi tanah merah seakan menjadi nestapa masyarakat. Peta wilayah adat pun diharapkan menjadi jawaban dari sengkarut pencaplokan tanah warga dan perusakan lingkungan ini. Bagaimana kisahnya? Berikut catatan perjalanan selama dua hari, lewat Laporan Mendalam Blok Pertama oleh Reinardo Sinaga .
Nestapa masyarakat Dusun Semenduk Desa Sejotang Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalbar , semakin menjadi. Kendati deru suara mesin alat berat serta pencucian bauksit sudah tak terdengar lagi, namun bekas – bekas tanah yang rusak bahkan ekosistem yang hancur tampak jelas. Di atas tanah yang kami pijak ini dulunya danau seluar 40 , 6 hektar . Danau Semenduk begitu warga menyebutnya. Danau ini merupakan tempat bermukim nya beragam jenis ikan , seperti lais, toman dan beberapa jenis ikan khas Kalimantan Barat. Namun , sejak hadirnya PT Mahkota Karya Utama –MKU , danau ini berubah fungsi dan menjadi sangat mengerikan. Yang tampak di bekas danau itu hanyalah hamparan tanah merah, dengan belasan alat berat seperti excavator , truk besar beroda enam yang tersusun rapi, dan lubang besar dengan genangan air. Tidak hanya itu, pohon mati yang telah lapuk pun berjejer menandakan dulu ada ekosistem yang baik namun telah rusak akibat pencemaran air dan tanah. Semakin penasaran, Libertus Acok (40) seorang warga yang sedari tadi menemani kami pun berkisah, dulu danau semenduk, merupakan sumber penghasilan para nelayan air tawar. Namun hal itu berubah drastis , sejak masuknya perusahaan tambang bauksit ini.
Masih dengan semangat bercerita , Acok yang sehari –hari menjabat sebagai Ketua RT di Dusun Semenduk ini berkisah, danau sumber pendapatan itu dulunya memberi banyak kehidupan finansial bagi nelayan di dalam dan luar dusun semenduk dan kawat , desa tetangga nya. Namun , sumber penghasilan itu , kian cekak bahkan hilang, semenjak aktivitas tambang dimulai, pada 2011 lalu. Penderitaan itu pun tak habis, ketika janji manis perusahaan untuk menanam karet, tidak mengambil tanah obey yakni tanah subur bagian permukaan, untuk ditimbun , seakan hilang bersama danau yang menjadi tanah merah .
“Awalnya perusahaan berjanji dengan menyewa tanah Rp. 5 juta , untuk satu hektar selama lima tahun, dengan janji setelah itu ditanami karet tanah sewanya. Namun setelah 6 bulan reklamasi dan penanaman karet tidak jadi, dan diganti dengan uang rp. 5 juta lagi, “ Ujar Acok dengan mimik geram.
Lagi –lagi penyesalan ditunjukkan acok. Ia mengaku sangat menyesal memberikan tanahnya untuk dieksplorasi. Dan akhirnya tanah obey di lahan nya pun ikut terangkut untuk menimbun danau semenduk dan disulap menjadi lahan pabrik . Acok berharap perusahaan menepati janji, untuk mereklamasi tanah garapan nya dan menepati janji menanam pohon karet.
“ Kami ini warga biasa , mereka itu perusahaan, kami hanya minta perusahaan kembalikan (lahan) semula,” ungkapnya.
Mencari informasi lebih pasti, awak media bersama para Peneliti dari Swandiri Institute Dan Lembaga Gemawan serta Yayasan Perspektif Baru –YPB , meninggalkan kubangan besar eks danau ini. Kami pun berkendara roda empat menuju rumah Kepala Dusun Semenduk . Tidak perlu waktu lama, cukup 8 menit kamipun tiba dirumah Ng Li Fa , Kepala Dusun Semenduk. Kendati terasa cahaya langit pun mulai berubah sedikit gelap, langkah tim ini pun disambut warga sekitar seketika pintu mobil terbuka, dan berjalan ketempat tujuan . Baru saja duduk, dirumah bernuansa Tionghua ini, Kepala Desa Sejotang Pius Tomi yang menemani Kepala Dusun nya angkat bicara .
“ Danau semenduk ini punya sejarah panjang, mulai tahun 1980 an dulu , terjadi kebijakan mengurangi jumlah Desa, yang dulu 85 Desa, menjadi 15 Desa saja. Inilah asal nya ada batas yang berubah, yang sebelumnya danau ini (semenduk) dulu masuk batas desa sejotang , lalu berubah ke Desa Kawat, bahkan sempat terjadi perselisihan yang hampir memakan korban jiwa” Ungkapnya.
Perselisihan ini terjadi ,dijelaskan Tomi karena masyarakat sejotang tidak terima dengan tata batas desa itu. Karena danau itu dari namanya saja sama dengan nama dusunnya, semenduk.
“Akhirnya kita urus perkara tata batas desa ini. Sengketa antar desa harusnya sudah selesai pada 1992. Hanya saja, masalah tak berhenti sampai di situ. Masih ada warga yang mengklaim danau ini sebagai tanah pribadi. Sengketa pun berlanjut,” Urai Tomi.
Berselang 20 tahun, tepatnya Maret 2012, Pius Tomi terpilih sebagai Kepala Desa. Langkah awal yang dia benahi adalah menyampaikan kepada masyarakat bahwa danau itu harus diperjuangkan. Akhirnya, pada desember 2014, Danau Semenduk kembali ke Desa Sejotang.
“Sayangnya, kami sudah terlambat. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah desa akan bekerja sama dengan lembaga adat untuk mencari solusi yang tepat. Kami sudah sangat dirugikan,” Ucapnya.
Di saat danau ini masih ada, jelas Tomi, masyarakat sangat mudah mencari ikan. Baik di musim kemarau, maupun hujan. Namun sekarang kondisinya sudah berubah total. Danau hilang, hidup masyarakat kian susah.
Tomi mengakui, warganya tidak serta merta kehilangan mata pencarian. Sebab, mereka bekerja tidak hanya sebagai nelayan. Warga juga hidup sebagai petani ladang, karet, dan sebagainya. Hanya, sebagian kecil masyarakat menggantungkan hidupnya di danau. Terutama warga dusun semenduk, yang sejak dulu hidup sebagi nelayan.
Melihat kondisi seperti sekarang, warga akhirnya beralih menyadap karet dan menjadi kuli. Bahkan ada yang merantau menjadi TKI ke Malaysia. Saat ini, jumlah warga di desa sejotang mencapai 1.928 jiwa. Warga tersebar di tujuh dusun dengan luas total wilayah mencapai 6.500 hektar.
Setelah puas mendengar keluhan warga, langkah pun tertuju ke sebuah Kantor layaknya Ruko satu pintu pada 18 juni lalu. Kantor tanpa penunjuk nama Perusahaan di bilangan Tanjungpura Gang Irian tepatnya di sebelah kiri Kantor Lurah Benua Melayu Laut Kota Pontianak, ini tampak sepi . Hanya ada Ihsan dan seorang Staff perempuan yang sedang sibuk dengan pekerjaan nya didepan layar komputer. Bahkan berdasarkan pengakuan Ihsan General Manager, Putra Djaja tidak ada di tempat. Ruko ini merupakan markas besar dari PT. Mahkota Karya Utama –MKU. Saya dan seorang Jurnalis senior Media Online lingkungan pun mencoba masuk untuk melakukan konfirmasi. Tak disangka, Ihsan Muliadi Staf Bidang Survei Dan Perencanaan Eksplorasi menyambut kami.
Selesai ramah tamah singkat , kamipun menjelaskan jika banyak keluhan dari masyarakat desa sejotang mengenai aktifitas perusahaan tempatnya bekerja. Namun keluhan itu buru –buru ditangkis ihsan. Dengan tegas ia menyatakan, PT MKU tidak pernah menimbun danau/ karena yang ditimbun itu adalah rawa.
“PT MKU tidak pernah menimbun danau. Sepengetahuan saya, yang dimaksud sebagai danau itu rawa,” Kata Ihsan yang mengaku pernah menjadi aktivis bidang lingkungan itu.
Ihsan bahkan bertanya kembali , apa dasar rawa itu disebut danau , sehingga tuduhan menimbun danau dialamatkan ke perusahaan nya. Karena berdasarkan analisis perencanaan yang disebut danau itu adalah rawa. Tak habis disitu ditanya soal kerusakan lingkungan , dan pembayaran reklamasi yang tidak sesuai , ihsan pun kembali menjelaskan jika semua sudah pada aturan yang ditetapkan Pemerintah.
“Semua kebijakan perusahaan di wilayah tambang kita, sudah seizin masyarakat dan pemerintah, mulai dari lingkungan hidup , amdal dan lainnya. Begitu juga reklamasi. Ini sudah sesuai kesepakatan kita hanya memberikan kompensasi, dan masyarakat sendiri yang akan melakukan reklamasi,” Jelasnya.
Meramu informasi ini, bertolak belakang dengan apa yang sudah dikeluhkan warga sejotang. Pius tomi Kepala Desa Sejotang berujar, bukan hanya lingkungan yang telah dirusak oleh PT MKU . Soal dana sosial masyarakat pun dianggap dipersulit. Pius bercerita , kontribusi dari PT MKU untuk Corporate Social Responsibility – CSR sangat sulit didapatkan, melalui proposal dan berbelit –belit. Itupun jarang diterima.
“Kontribusi perusahaan untuk desa ada. Namun harus pakai proposal. Bayangkan untuk rumah ibadah saja tidak bisa dibantu sepenuhnya. Hanya 50 persen dari total kebutuhan,” Ungkapnya.
Tak hanya itu , Tomi pun berkisah, janji perusahaan untuk membangun jembatan, sampai sekarang tidak terealisasi. Adapun jembatan hanya seadanya dibangun dan membahayakan. Apalagi jika bicara soal reklamasi .
“Dari dulu saya tidak setuju jika dana reklamasi yang besarannya rp5 juta per hektar diserahkan kepada pemilik lahan,” keluhnya.
Harusnya, ditegaskan Tomi , perusahaan bersama pemilik lahan yang mereklamasi bekas tambang itu hingga pulih seperti semula. Bukan dengan memberikan sejumlah uang kepada pemilik lahan, lalu dianggap sudah menjalankan kewajiban reklamasi.
“Sekarang mana hasilnya? Uang dengan besaran Rp 5 Juta menjadi tak berguna sama sekali. Masyarakat bingung bagaimana cara menanam di areal bekas tambang,” Jelas Tomi.
Bantahan atas ungapan PT MKU pun bertambah deras. Peneliti Swandiri Institute Yang Merupakan Mantan Direktur Eksekutif Walhi Jambi , Arif Munandar pun angkat bicara. Menurutnya, data yang dipegang swandiri institute mulai dari pengambilan foto melalui drone , untuk membantu masyarakat sejotang memetakan wilayah adatnya , sudah terlihat jelas, bahwa , danau itu ditimbun , dan bukan rawa.
“Kita bisa lihat di peta google earth 2010. Kawasan tempat perusahaan itu mencuci bauksit, jelas danau hidrolik di sempadan sungai,” Katanya , di Pontianak, Jumat 19 Juni lalu.
Arief pun menegaskan , jika danau semenduk itu sudah hilang fungsi akibat jadi tempat cuci bauksit, yang lebih parahnya , hamparan tanah merah dan tancapan tiang pabrik yang dulunya danau itu , berada di luar izin konsesi PT Mahkota Karya Utama –MKU . Tentu ini menunjukan , ada yang tidak beres dengan status Clean And Clean –CnC yang sudah didapuk oleh PT . MKU.
“Kasus pt mku di sejotang ini telah menunjukkan ada yang tak beres tentang status CnC. Secara administrasi bagus, tapi kenyataan di lapangan berbeda,” Tegasnya.
Terlepas dari itu , Pius Tomi Kepala Desa Sejotang hanya meminta PT MKU dan Pemerintah mengembalikan hak warga. Mulai dari tanah yang dijanjikan akan direklamasi untuk ditanami karet , hingga pengembalian fungsi Danau Semenduk. Karena pendapatan warga kian cekak, akibat hilangnya sumber mata pencaharian dari danau yang tertimbun tanah merah itu.
“ Kalo dari hasil alam , ikan lah yang jelas berkurang , bukan Danau Semenduk yang hilang . Melainkan limbah pencucian bauksit kendati tak beroperasi lagi selalu turun ke anak sungai kapuas. “ Tegas Tomi. (sumber edo/rri.co.id)
0 komentar:
Post a Comment