“Pers” adalah kata yang sudah familiar di telinga masyarakat. “Pers” adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (perancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.
Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperluas jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperluas jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Di Indonesia,secara umum perjalanan kehidupan pers terbagi atas empat masa, masa penjajahan, orde lama, orde baru serta orde pasca reformasi. Pada masa penjajahan pers Indonesia terbagi dalam dua masa penjajahan, bangsa Belanda dan bangsa Jepang.
1. Pers masa penjajahan Hindia Belanda (1744 sampai awal abad ke 19 )
Tak dapat dipungkiri, lahirnya persuratkabaran di Indonesia tidak terlepas dari peran bangsa-bangsa Eropa, khususnya Belanda yang pada saat itu melakukan penjajahan di bumi nusantara.
Media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik.
Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922.
Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922.
Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
2. Pers masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini, pers dipaksa untuk menjadi alat perang Jepang, seluruh kabar dan karang yang boleh dimuat hanyalah yang pro terhadap pemerintah Jepang. Seluruh surat kabar di Indonesia dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usaha harus sesuai dengan rencana dan tujuan tentara Jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya (Dai Toa Senso).
3. Pers masa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI dibacakan, yang menyatakan bahwa RI kembli ke UUD ’45, penguasa perang Jakarata sudah melakukan pembredelan terhadap kantor berita PIA, surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po.
Penekanan terhadap kebebasan pers, pada tahun 1960 diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi, bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”.
Masih tahun 1960 penguasa perang juga suda mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk, kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
4. Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal berkuasa, pemerintahan rezim orde baru Soeharto disambut dengan suka cita rakyat Indonesia, karena menjanjikan keterbukaan dan kebebasan dalam berpendapat. Peningkatan disemua aspek kehidupan oleh pemerintah berkembang pesat.
Indonesia terus bangkit dan berkembang, namun tidak bagi dunia pers. Dunia pers yang seharusnya ikut merasakan kebebasan masa orde baru, ternyata justru mendepat tenan pemerintah. Terhadap setiap pemberitaan miring tentang pemerintah, akan disambut dengan peringatan dan ancaman dari pemerintah.
Rezim orde baru mengawasi dengan sangat ketat dunis pers, tidak ada ruang kritik kepada pemerintah bagi dunia pers. Sehingga pers tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pendukung dan pembela kebenaran. Pers hanya jadi corong pemerintah, karena harus selalu seiring dan sejalan dengan pemerintah.
Jika tidak ingin mengalami pembredelan, seperti yang dialami Tempo, deTIK dan editor pada tahun 1994.
5. Pers di masa pasca Reformasi
Setelah terpasung oleh sistem pemerintahan orde lama, ditambah lagi 32 tahun masa orde baru. Pers Indonesia menemukan puncak masa keemasan pada masa pasca reformasi, yang ditandai dengan lahirnya UU nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers.
UU nomor 40 tahun 1999 ini menjamin tidak aka nada pembredelan maupun intervensi atau tekanan pemerintah. Tetapi pers bertanggung jawab kepada pers itu sendiri dan juga kepada masyarakat.
6. Tantangan Pers Nasional di era Reformasi
Di era reformasi, secara garis besar pers mengahadapi dua tantangan, pertama dampak dari kebebasan/kemerdekaan pers, kedua tantangan global dampak perkembangan tehnologi.
Kebebasan pers yang ditandai dengan lahirnya UU Pers nomor 40 tahun 1999, membuka peluang bagi siapa saja untuk mendirikan atau menerbitkan perusahaan media. Sehingga, jumlah perusahaan maupun wartawan terus meningkat, meski kadang bekerja dengan tanpa memperhatikan rambu-rambu kode etik. Tidak sedikit yang berprinsip, soal idealisme dan kualitas karya jurnalistik soal belakangan, yang penting perusahaan media berdiri dan terbit. Persoalan inilah yang melatar belakangi banyaknya bermunculan apa yang disebut dengan wartawan ‘Bodrex’.
Tantangan global, perkembangan tehnologi informasi, juga memberikan kesempatan kepada siapapun untuk membuat dan atau menyiarkan suatu peristiwa, misalkan melalui media sosial Facebook, twitter dan lainnya.
Meski apa yang muncul di media sosial tidak seluruhnya bisa dikategorikan berita, setidaknya bisa menjadi sarana mendapatkan informasi awal untuk dijadikan bahan melakukan pendalaman suatu peristiwa. (dari berbagi sumber)
0 komentar:
Post a Comment