![]() |
Teluk Palu FOTO : IST |
Alkisah, suatu hari, sebuah kapal besar milik
Raja Sawerigading dari Kerajaan Bugis; sepulang dari Negeri Cina untuk menikahi
tunangannya; Putri We Cudai. Saat Kapal Sawerigading tengah berlayar di Selat Makassar,
dia menyempatkan diri melabuhkan kapalnya di Laut Kaili, untuk singgah di
Kerajaan Pudjananti.
Kala itu, Kerajaan Pudjananti berada dibawah kekuasaan
Madika (Raja) Larumpammaega. Demi mendengar ada rombongan kapal yang hendak
berlabuh di pantai wilayah kekuasaannya, Madika Larumpammaega bersama dengan
prajurit-prajuritnya segera bergegas menuju pantai, guna menyambut kedatangan
Sawerigading dan menanyakan maksud dan tujuannya datang diwilayah kekuasaannya.
“Hal apakah yang kiranya membuat tuan sudi singgah
ke negeri kami ini?,” tanya Madika Larumpammaega.
“Maksud kedatangan kami di Negeri Pudjananti
ini, tak lain dan tak bukan adalah, hanya untuk melihat-lihat situasi negeri
Tuan, kami juga ingin menjalin persahabatan. Sebab, sudah banyak negeri kami
jelahi yang kemudian menjadi sahabat kami. Hingga negeri-negeri itu kini juga telah
menjadi saudara bagi kami. Begitu pula dengan negeri tuan ini, semoga kita bisa
menjalin persahabatan dan persaudaraan kedepan kelak,” jawab Sawerigading
menyampaikan maksud kedatangannya kepada Madika Larumpammaega.
“Jika begitu maksud kedatangan tuan di negeri
kami ini, silahkan, tinggallah di sini hingga beberapa hari yang tuan
inginkan,” sambut Larumpammaega dengan hangat.
Setelah beberapa hari berada di Kerajaan Pudjananti,
Sawerigading dan Larumpammaega sering terlibat diskusi, saling bertukar-pikiran
dan informasi menyangkut banyak hal. Hingga dalam suatu percakapan,
Sawerigading mendapat informasi, bahwa di sebelah selatan Kerajaan Pudjananti
terdapat dua kerajaan Kaili, yaitu Sigi dan Bangga.
Kala itu Lembah Palu masih berwujud lautan
teluk.
Dua kerajaan itu hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian, masing-masing kerajaan dipimpin Madika perempuan, yang mengendalikan
kehidupan kerajaan dengan kearifan nan bijak. Kerajaan Bangga berada di lereng pegunungan
sebelah barat laut Palu, dengan ratu bernama Madika Wumbulangi, seorang
perempuan yang diyakini sebagai To Manuru (Turunan dari Kahyangan).
Sedangkan Kerajaan Sigi, berada lereng
pegunungan sebelah timur Laut Palu, dibawah kendali Madika Ngilinayo, yang
mahsyur dengan kerupawanan wajahnya, namun sangat bijaksana dengan rakyatnya.
Sehingga Madika Ngilinayo begitu dicintai dan disegani segenap rakyatnya.
Cerita Larumpammaega begitu berkesan di hati
dan pikiran Sawerigading, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kearah
selatan, guna mengunjungi dua kerajaan itu, Kerajaan Bangga dan Kerajaan Sigi .
“Terima kasih Tuan, kalau begitu izinkan kami
untuk pamit, dan melanjutkan pelayaran untuk mengunjungi dua kerajaan itu,”
kata Sawerigading sembari berpamitan kepada Madika Larumpammaega.
“Baiklah, silahkan Tuan. Kedua kerajaan itu
juga masih ada hubungan kerabat dengan kami, Pudjananti ini. Mereka juga sangat
terbuka dengan siapa saja yang berkunjung kesana,” jawab Madika Larumpammaega.
**
Tiba pada hari yang telah ditentukan, Sawerigading
beserta anak buahnya melanjutkan pelayaran menuju arah selatan dari Donggala.
Kerajaan pertama yang disinggahi adalah Bangga. Sebagaimana Madika
Larumpammaega, sikap terbuka penuh kehangatan juga ditunjukkan Madika
Wumbulangi dan rakyatnya, saat menyambut kedatangan Sawerigading.
Setelah beberapa hari berada di Kerajaan
Bangga dan telah terjalin persahabatan antara keduanya. Kemudian Sawerigading
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Sigi. Namun, kedatangan Sawerigading
yang disertai pasukan dengan jumlah besar, menimbulkan kehati-hatian dari
Kerajaan Sigi saat menyambut kedatanganya.
Namun, setelah melalui perundingan antara penasehat
Kerajaan Sigi dengan Sawerigading, akhirnya Sawerigading diizinkan naik ke
daratan. Dibawah pengawalan ketat prajurit Kerajaan Sigi, Sawerigading diantar ke
Istana Madika Ngilinayo, dengan iringan aneka tetabuhan mulai gong, tambur
serta alat musik lainnya penuh kemeriahan.
Sepanjang perjalanan menuju Istana Madika Ngilinayo,
terbetik kekaguman dalam benak Sawerigading terhadap sosok Madika Ngilinayo.
Sawerigading pun bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimanakah rupa sosok sang madika
perempuan itu, sampai-sampai begitu besar pengaruh dan kekuatannya kepada
rakyatnya?,” guman Sawerigading.
Sesampai disuatu tempat, dalam ruangan yang
dipenuhi hiasan kilau emas dan permata, yang memancar dari seluruh sudut
ruangan, Sawerigading melihat sosok perempuan tengah duduk diatas singgasana
indah, dengan tenang dan berwibawa. Wajah perempuan itu begitu anggun nan
rupawan, sekaligus bersahaja, dialah Madika Ngilinayo.
Seperti halnya Madika Pudjananti, setelah
mendengar penjelasan maksud dan tujuannya datang ke Kerajaan Sigi, lantas
Madika Ngilinayo mempersilahkan Sawerigading untuk beberapa hari tinggal di
Sigi. Selama maksud itu benar untuk persaudaraan, dan bukan untuk hal lain yang
merusak ketenteraman kehidupan Kerajaan Sigi.
“Silahkan Tuan, jika memang maksud tuan adalah
untuk persahabatan, dengan senang hati kami menerima tuan untuk berada disini
selama yang tuan kehendaki,” ucap Madika Ngilinayo.
**
Waktu terus berjalan, sekian lamanya
Sawerigading telah berada di Kerajaan Sigi, dia sering terlibat percakapan
dengan Madika Ngilinayo, untuk membahas berbagai hal, mulai soal kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat, perdagangan, hingga kemungkinan membangun kerjasama
antara kedua kerajaan yang mereka pimpin.
Berkali-kali bertemu dan sering terlibat
perbincangan, Sawerigading mulai tidak mampu menyembunyikan kekaguman dirinya
terhadap kharisma Madika Ngilinayo. Kagum itu berubah menjadi benih cinta. Meski
seorang perempuan, wibawa dan ketegasan Madika Ngilinayo begitu jelas dari tiap
ucapannya. Rakyat juga begitu taat dan patuh terhadap sabda dan titah sang
ratu.
Kekaguman itu terus bergerak liar dalam jiwa
Sawerigading, terus bersemi dan tumbuhlah benih-benih cinta terhadap sang ratu.
Pesatnya pertumbuhan benih cinta dalam hati dan jiwa Sawerigading, membuat sang
pelaut itupun tak lagi mampu membendung, untuk segera mengutarakan perasaaan
itu kepada Madika Ngilinayo.
Sebagai To Manuru atau manusia turunan dari
kahyangan, Madika Ngilinayo dengan cepat membaca situasi dari kondisi
Sawerigading terhadapnya. Namun, Madika Ngilinayo tidak mempedulikannya. Dia
tetap bersikap tenang, seolah tidak mengetahui dan tidak memperhatikan perubahan
dalam diri Sawerigading.
Hingga pada suatu kesempatan, Sawerigading
benar-benar tak mampu lagi membendung pergolakan dalam bantinnya. Sawerigading
pun mengutarakan keinginannya kepada Madika Ngilinayo untuk mempersunting
dirinya.
“Mohon maaf sebelumnya tuan, ada yang ingin
saya sampaikan kepada Madika Ngilinayo,” ucap Sawerigading dengan nada suara
agak gemetar.
“Oh…ada apakah gerangan Tuan Sawerigading,
kelihatannya begitu penting,” jawab Madika Ngilinayo.
“Benar sekali madika, sangat penting, dan ini
menyangkut hal yang sangat pribadi madika yang mulia,” lanjut Sawerigading
dengan agak gugup.
Namun, Sawerigading tidak langsung
mengutarakan keinginannya. Sebagai seorang raja yang memiliki pengalaman
petualangan cukup tinggi, dia terlebih dahulu berusaha mengajak Madika Ngilinayo
untuk memperluas perbincangan, sebelum seluruh pembahasan diarahkan ke pokok
persoalan sebenarnya, menyampaikan cinta.
“Mohon maaf madika, saya ingin mempersunting
Anda sebagai pendamping hidup saya,” ucap Sawerigading.
Kalimat itu membuat Madika Ngilinayo
tersentak, namun dia berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Ungkapan perasaan
Sawerigading itu, sedikit membuat dada Madika Ngilinayo terasa sesak. Terjadi
pergolakan hebat dalam diri Madika Ngilinayo, namun bukan disebabkan adanya
seorang raja yang meminang dirinya. Tetapi karena Madika Ngilinayo sudah
memiliki calon suami.
Dan yang paling membuat Madika Ngilinayo
gelisah adalah, upaya menemukan alasan yang tepat untuk menolak secara halus
pinangan itu, sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan Sawerigading.
Tiba-tiba, Madika Ngilinayo mendapat bisikan
ke dalam hatinya, yang menyarankan kepada dia untuk mengadakan adu atau sabung
ayam milik mereka, disaksikan seluruh rakyat.
Disaat Madika Ngilinayo tengah diliputi
kegelisahan, padangan matanya menerawang jauh hingga ujung langit, dan saat Madika
Ngilinayo masih tenggelam dalam perenungannya, tiba-tiba Sawerigading yang
masih menatap dirinya sambil menunggu jawaban, kembali bersuara;
“Bagaimana madika, saya ingin meminang
Anda?” Sawerigading kembali bersuara.
Jiwa Madika Ngilinayo benar-benar berada dalam
pergulatan hebat, demi menemukan rangkaian kata yang tepat untuk penolakan
secara halus itu, perlahan Madika Ngilinayo mengembalikan imajinasinya ke dunia
nyata, bahwa dia harus segera mengucap jawaban itu.
“Hmmm……begini tuan, sebaiknya kita lakukan adu
(sabung) ayam, kita adu ayam saya Calabai, melawan ayam milik tuan
Sawerigading, Bakka Cimpolong itu,” jawaban itu membuat Sawerigading tersentak
kaget.
Madika Ngilinayo memberi nama ayamnya Calabai,
karena garak-geriknya yang seperti betina. Sedangkan, Bakka Cimpolong milik
Sawerigading kelihatan sangat jantan. Namun kedua ayam itu telah dikenal
ketangguhannya dalam setiap pertarungan oleh masing-masing rakyat kedua raja
ini.
“Jika Calabai menang, berarti lamaran Tuan
Sawerigading ditolak,” kata Madika Ngilinayo kembali bersuara.
“Bagaimana jika Bakka Cimpolong yang menang?,”
sahut Sawerigading.
“Hmmm….kita lihat saja nanti,” jawab Madika Ngilinayo.
“Baiklah, saya setuju,” timpal Sawerigading.
**
Adu ayam milik kedua raja telah disepakati.
Punggawa Kerajaan Sigi bertugas menyampaikan peristiwa besar dan sangat penting
ini kepada seluruh rakyat Kerajaan Sigi di segala penjuru.
Kemudian Sawerigading naik kembali ke atas
kapalnya, untuk mengambil Bakka Cimpolong. Saat turun kembali dari kapalnya,
tanpa oleh disadari Sawerigading, anjing peliharaannya yang bernama Labollong
(Bugis=hitam) yang dalam keadaan lapar menyelinap ikut turun dari kapal, dan langsung
berlari menghilang dibaling rerimbunan pepohonan hutan untuk mencari binatang
buruan.
Tiba pada hari pertandingan, arena aduan ayam
yang disebut dengan wala-wala, sudah
disiapkan rakyat Kerajaan Sigi. Arena itu telah dikelilingi ribuan rakyat Madika
Ngilinayo dan Sawerigading, demi menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
Sorak-sorai rakyat kedua raja bergemuruh
dengan meriahnya. Masing-masing memberi dukungan kepada raja dan ayam miliknya.
**
Sementara itu, didalam hutan, Labollong yang tengah
kelaparan terus berlari mencari buruan. Tiba-tiba Labollong melihat seekor Anoa
gemuk, kulitnya mengkilat tanda bahwa binatang yang tengah asyik menikmati
rumput itu benar-benar sehat.
Tanpa berpikir panjang, Labollong segera
mengendap untuk menyergap sang Anoa. Labollong benar-benar berhati-hati, agar
tidak mengagetkan si Anoa, sehingga dia binatang itu lari.
Hingga pada jarak sergap, tanpa berpikir
panjang Labollong langsung menyergap Anoa gemuk itu. Namun, Anoa itu tak lantas
menyerahkan diri begitu saja kepada Labollong, dengan sekuat tenaga Anoa itu memberikan
perlawanan dengan sengitnya.
Alhasil, Anoa itu berhasil terbebas dari
sergapan si Labollong, kemudian Anoa itu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan
Labollong.
Tak mau menyerah begitu saja, Labollong yang
memang sudah sangat kelaparan itu segera berlari mengejar si Anoa, sambil
melolong sekuat tenaga, karena geram binatang buruannya lolos dari sergapannya.
Saling kejar antara si Anoa dan Labollong
sambil terus melolong keras itu, membuat kegaduhan dan memekakkan telinga
seluruh makhluk penghuni hutan lainnya.
Si Anoa terus berlari meninggalkan Labollong.
Begitupun Labollong, seolah lupa dengan lapar dan rasa lelah, sekuat tenaga dia
terus berlari mengejar si Anoa.
Labollong yang kehilangan jejak si Anoa, kini
telah berada dipinggiran dataran padang rumput yang luas. Ditempat itu Labollong
masih terus melolong, begitu kerasnya suara lolongannya, sampai-sampai
menimbulkan gemuruh laksana topan badai, dan bumi serasa bergetar.
Tak tahan mendengar suara lolongan si
Labollong, seluruh makhluk penghuni dataran itu mulai merasa terusik. Tak
terkecuali dengan sang penguasa tempat itu, seekor belut raksasa bernama Lindu,
yang hidup bak raja di kawasan itu dalam lubang lumpur.
Si
Lindu pun segera bereaksi, dengan nada suara geram dia berteriak sekuat tenaga;
“Haiii……siapakah gerangan diluar sana
yang telah berani mengganggu ketenangan kami,” teriak sang Lindu.
**
Sementara itu, didalam lingkaran wala-wala, arena pertarungan antara
Calabai milik Madika Ngilinayo melawan Bakka Cimpolong milik Sawerigading,
kedua ayam itu telah mulai bertanding. Masing-masing memberikan perlawanannya
dengan sengit.
Hingga berjam-jam pertarungan sejak dimulainya
pertandingan itu, belum terlihat tanda-tanda kekalahan salah satunya. Sengitnya
pertarungan kedua ayam itu, menambah kemeriahan suasana. Rakyat yang menonton
pertarungan itu nampak begitu terhibur sekaligus berdebar. Pasalnya
menang-kalah pertarungan kedua ayam itu, adalah penentu hubungan kedua raja
mereka.
Menyaksikan pertandingan itu, Madika Ngilinayo
dan Sawerigading sama-sama terlihat tenang. Dan sejak awal, kedua raja yang
arif dan bijaksana itu telah membangun kesepakatan. Bahwa adu ayam ini bukanlah
semata sebagai adu gengsi, meski hasil
dari pertandingan ini menentukan hubungan keduanya kelak.
Karena sejak awal Madika Ngilinayo juga sudah menyampaikan
kepada Sawerigading, apapun hasilnya yang terpenting adalah persahabatan dan
persaudaraan. Jangan sampai hanya persoalan itu, lantas rakyat yang tidak tahu
menahu urusan pemimpinnya, jadi korban ambisi para rajanya.
“Benar Madika Ngilinayo, memang begitulah
adanya perjalananku mengunjungi banyak tempat, tak lain dan tak bukan adalah
demi untuk persahabatan dan persaudaraan itu,” ujar Sawerigading.
Akhirnya mata kedua raja itu kembali tertuju
kearah arena laga Cibalai dan Bakka Cimpolong. Batin keduanya berada dalam
keheningan masing-masing, ditengah keramaian suasana adu ayam.
**
Dari dalam lubang sumur tempatnya tinggal si
Lindu yang merasa terusik, namun pertanyaanya dijawab oleh si pembuat kegaduhan,
Lindu mulai murka, karena merasa dilecehkan makhluk asing itu.
“Siapakah gerangan itu di luar sana, engkau
yang telah mengusik suasana kami?,” Lindu yang mulai murka itu kembali berteriak .
Namun makhluk asing pembuat kegaduhan itu tak juga
menjawab pertanyaannya. Justru lolongan
Labollong bertambah keras dan panjang.
Tak tahan dengan sikap dan perilaku Labollong
yang benar-benar membuatnya marah, Lindu pun beranjak mengeliat keluar dari
dalam sumur tempat tinggalnya itu.
Sampai diluar, Lindu yang murka segera
mendekati dan berhadap-hadapan dengan Labollong yang juga geram karena gagal menangkap binatang
buruannya.
Pertempuran hebat antara Lindu dan Labollong tak
terelakkan lagi, begitu hebatnya hingga menimbulkan suara gemuruh dan getaran
tanah yang besar yang terasa hingga pemukiman penduduk di desa sekitar tempat
itu.
Adu kesaktian antara Lindu dan Labollong hingga
menimbulkan kilat cahaya membelah langit. Namun penduduk sekitar tempat itu
tidak ada yang mengetahui, jika kilat, getaran tanah dan suara bergemuruh itu disebabkan
pertarungan Lindu dan Labollong.
Pertarungan hebat terus berlangsung dengan
begitu sengitnya. Sementara sumur tempat tinggal Lindu dengan cepat terisi air,
begitu cepatnya air itu mengisi lobang itu, hingga meluber keluar lubang dan menggenangi
wilayah sekeliling tempat itu.
Genangan air yang terus meluas dan memenuhi
tempat tinggal Lindu itulah, yang hingga saat ini disebut dengan Danau Lindu.
Pertarungan dahsyat terus berlanjut, hingga
beberapa waktu lamanya belum terlihat ada satu pihak yang kalah. Meski
tubuh-tubuh ke dua makhluk itu sama-sama telah terluka parah. Namun kedigdayaan
keduanya belum sampai puncak.
Arena pertarunganpun meluas, keduanya saling
kejar; saling tarik; dan saling terjang. Keberuntungan nampaknya berpihak
kepada Labollong, dia berhasil mencengkeram Lindu dengan kuat, dan menarik
Lindu dengan kuat kearah utara. Meski berusaha sekuat tenaga melepaskan diri
dari cengkeraman Labollong, namun kuku dan taring Labollong lebih kuat
tertancap di tubuh Lindu.
Lindu terus menggelepar, menggeliat
membanting-bantingkan tubuh ke bumi, hingga membentuk liukan di permukaan bumi,
diikuti aliran air luapan dari bekas tempat tinggalnya, dan kini bekas tubuh
Lindu itu dipercayai sebagai Sungai Gumbasa atau Sungai Palu.
Sungai Palu itu membelah Kota Palu menjadi dua
bagian, Palu bagian Timur dan Palu bagian barat.
Sementara Labollong terus berlari kearah
utara, dengan tubuh penuh luka, dan akhirnya mati. Tubuhnya terseret yang
terseret arus ombak itu, terdampar di suatu kampung. Darah yang masih terus
keluar dari mayat Labollong sangat banyak, begitu banyaknya darah itu, membuat
air laut di tempat terdamparnya mayat Labollong berubah warna menjadi hitam.
Dan kini kampong itu disebut dengan Desa Loli
Tasiburi, dalam bahasa Kaili, etnis asli Lembah Palu, Tasi berarti Laut, dan
Buri yang dalam bahasa sub etnis Kaili Ledo disebut Vuri yang berarti Hitam.
**
Ternyata, pertarungan hebat antara Labollong
dan Lindu berdampak pula pada jalannya adu ayam milik Madika Ngilinayo dan Sawerigading.
Arena laga itu telah kocar-kacir sejak terjadi
goncangan dahsyat disertai kilat dan petir terjadi, serta datangnya air bah
dari arah selatan menuju tempat adu ayam, akibat pertarungan antara Labollong dan Lindu.
Datangnya air bah, yang ternyata luapan dari
lubang tempat tinggal Lindu selama ini, telah menerjang wala-wala. Yang tidak
hanya menghentikan pertandingan antara Calabai dan Bakka Cimpolong, tetapi juga
telah menghancurkan desa itu.
Terjangan air bah luapan dari lubang tempat tinggal Lindu, Lembah Palu yang pada
masa itu masih berupa teluk, hingga mendesak air laut menuju arah utara.
Begitupula dengan kapal besar milik
Sawerigading, meski dikenal besar, kuat dan kokoh ternyata tak mampu menahan
terjangan air bah itu. Hingga membelah jadi beberapa bagian kapal.
Bagian badan kapal terlempar kearah barat
Lembah Palu, hingga membentuk gundukan tanah yang kini diyakini sebagai Bulu
(Gunung) Padanjakaya. Kemudian, bagian
layar kapal terlempar kea rah timur lembah Palu, yang kini disebut dengan Bulu
(Gunung) Masomba.
**
Setelah berhasil terhindar dari terjangan air
bah itu, Madika Ngilinayo dan Sawerigading beserta seluruh rakyatnya hanya bisa
tertegun. Peristiwa itu benar-benar tak pernah terjangkau benak mereka, bahwa
prahara itu bakal terjadi dengan begitu cepat dan hebatnya, meluluhlantakkan segala
yang ada di hadapan mereka.
Saat semua masih tenggelam dalam kekalutan,
tiba-tiba Madika Ngilinayo berucap kepada Sawerigading.
“Tuan Sawerigading, bagaimana kalau
pertandingan ini kita anggap tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah.
Demi rakyat kita semua, kita lanjutkan saja urusan ini, dengan menjalin
persaudaraan dan kekerabatan, antara kita semua, saya dan tuan serta seluruh
rakyat kita,” ucap Madika Ngilinayo mengembalikan kesadaran Sawerigading.
Sembari menarik nafas berat dan panjang,
Sawerigading mengarahkan pandangannya kepada Madika Ngilinayo, sambul
mengangguk perlahan.
“Anda sungguh benar madika. Memang, jauh lebih
baik jika kita melepas segala ambisi, dan membangun persaudaraan serta
kekerabatan adalah jauh lebih penting. Diatas keinginan dan kepentingan kita
pribadi. Saya setuju, hasil pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak
ada yang kalah. Tapi kita lanjutkan dengan persaudaraan saja,” jawab
Sawerigading.
Kebijakan pun kearifan kedua raja itu, seolah
telah meregangkan syaraf dan otot semua
yang ada. Bahwa persaudaraan dan kekerabatan jauh lebih bernilai dalam hidup,
dibandingkan nafsu dan ambisi para penguasa itu.
Sikap itu juga cerminan, dimana seorang
penguasa harus meletakkan rakyat ditempat yang paling mulia dalam setiap sabda
dan titahnya. Alam bergolak, tidak selamanya adalah kemurkaan dari sang
pencipta, tetapi seringkali sebagai langkah –NYA untuk mengingatkan para hamba,
agar senantiasa menghilangkan ambisi pribadi. Dan selanjutnya meletakkan cinta
kepada sesama di dalam hati dan diri masing-masing kita. Sebagaimana filosofi
hidup masyarakat Kaili, “Kita Pura Nosarara”
bahwa Kita Semua Bersaudara. ***
Dari penulis :
1. Diolah kembali dari berbagai sumber,
lisan dan tulisan, dengan tanpa menghilangkan substansi legenda masyarakat
etnis Kaili. Suku asli Lembah Palu – Sulawesi Tengah.
2.
Cerita ini ada beberapa versi, namun
pada inti substansi cerita pada dasarnya sama.
3.
Semoga beragam kisah, filosofi dari kehidupan
masa lampau Etnis Kaili kian dikenal rakyat Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment