Prahara Lembah Palu

Posted by

aginamo
Teluk Palu FOTO : IST
Alkisah, suatu hari, sebuah kapal besar milik Raja Sawerigading dari Kerajaan Bugis; sepulang dari Negeri Cina untuk menikahi tunangannya; Putri We Cudai. Saat Kapal Sawerigading tengah berlayar di Selat Makassar, dia menyempatkan diri melabuhkan kapalnya di Laut Kaili, untuk singgah di Kerajaan Pudjananti.

Kala itu, Kerajaan Pudjananti berada dibawah kekuasaan Madika (Raja) Larumpammaega. Demi mendengar ada rombongan kapal yang hendak berlabuh di pantai wilayah kekuasaannya, Madika Larumpammaega bersama dengan prajurit-prajuritnya segera bergegas menuju pantai, guna menyambut kedatangan Sawerigading dan menanyakan maksud dan tujuannya datang diwilayah kekuasaannya.

“Hal apakah yang kiranya membuat tuan sudi singgah ke negeri kami ini?,” tanya Madika Larumpammaega.

“Maksud kedatangan kami di Negeri Pudjananti ini, tak lain dan tak bukan adalah, hanya untuk melihat-lihat situasi negeri Tuan, kami juga ingin menjalin persahabatan. Sebab, sudah banyak negeri kami jelahi yang kemudian menjadi sahabat kami. Hingga negeri-negeri itu kini juga telah menjadi saudara bagi kami. Begitu pula dengan negeri tuan ini, semoga kita bisa menjalin persahabatan dan persaudaraan kedepan kelak,” jawab Sawerigading menyampaikan maksud kedatangannya kepada Madika Larumpammaega.

“Jika begitu maksud kedatangan tuan di negeri kami ini, silahkan, tinggallah di sini hingga beberapa hari yang tuan inginkan,” sambut Larumpammaega dengan hangat.
Setelah beberapa hari berada di Kerajaan Pudjananti, Sawerigading dan Larumpammaega sering terlibat diskusi, saling bertukar-pikiran dan informasi menyangkut banyak hal. Hingga dalam suatu percakapan, Sawerigading mendapat informasi, bahwa di sebelah selatan Kerajaan Pudjananti terdapat dua kerajaan Kaili, yaitu Sigi dan Bangga.

Kala itu Lembah Palu masih berwujud lautan teluk. 

Dua kerajaan itu hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, masing-masing kerajaan dipimpin Madika perempuan, yang mengendalikan kehidupan kerajaan dengan kearifan nan bijak. Kerajaan Bangga berada di lereng pegunungan sebelah barat laut Palu, dengan ratu bernama Madika Wumbulangi, seorang perempuan yang diyakini sebagai To Manuru (Turunan dari Kahyangan).

Sedangkan Kerajaan Sigi, berada lereng pegunungan sebelah timur Laut Palu, dibawah kendali Madika Ngilinayo, yang mahsyur dengan kerupawanan wajahnya, namun sangat bijaksana dengan rakyatnya. Sehingga Madika Ngilinayo begitu dicintai dan disegani segenap rakyatnya.
Cerita Larumpammaega begitu berkesan di hati dan pikiran Sawerigading, hingga ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kearah selatan, guna mengunjungi dua kerajaan itu, Kerajaan Bangga dan Kerajaan Sigi .

“Terima kasih Tuan, kalau begitu izinkan kami untuk pamit, dan melanjutkan pelayaran untuk mengunjungi dua kerajaan itu,” kata Sawerigading sembari berpamitan kepada Madika Larumpammaega.

“Baiklah, silahkan Tuan. Kedua kerajaan itu juga masih ada hubungan kerabat dengan kami, Pudjananti ini. Mereka juga sangat terbuka dengan siapa saja yang berkunjung kesana,” jawab Madika Larumpammaega.

**
Tiba pada hari yang telah ditentukan, Sawerigading beserta anak buahnya melanjutkan pelayaran menuju arah selatan dari Donggala. Kerajaan pertama yang disinggahi adalah Bangga. Sebagaimana Madika Larumpammaega, sikap terbuka penuh kehangatan juga ditunjukkan Madika Wumbulangi dan rakyatnya, saat menyambut kedatangan Sawerigading.

Setelah beberapa hari berada di Kerajaan Bangga dan telah terjalin persahabatan antara keduanya. Kemudian Sawerigading melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Sigi. Namun, kedatangan Sawerigading yang disertai pasukan dengan jumlah besar, menimbulkan kehati-hatian dari Kerajaan Sigi saat menyambut kedatanganya.

Namun, setelah melalui perundingan antara penasehat Kerajaan Sigi dengan Sawerigading, akhirnya Sawerigading diizinkan naik ke daratan. Dibawah pengawalan ketat prajurit Kerajaan Sigi, Sawerigading diantar ke Istana Madika Ngilinayo, dengan iringan aneka tetabuhan mulai gong, tambur serta alat musik lainnya penuh kemeriahan.

Sepanjang perjalanan menuju Istana Madika Ngilinayo, terbetik kekaguman dalam benak Sawerigading terhadap sosok Madika Ngilinayo. Sawerigading pun bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimanakah rupa sosok sang madika perempuan itu, sampai-sampai begitu besar pengaruh dan kekuatannya kepada rakyatnya?,” guman Sawerigading.

Sesampai disuatu tempat, dalam ruangan yang dipenuhi hiasan kilau emas dan permata, yang memancar dari seluruh sudut ruangan, Sawerigading melihat sosok perempuan tengah duduk diatas singgasana indah, dengan tenang dan berwibawa. Wajah perempuan itu begitu anggun nan rupawan, sekaligus bersahaja, dialah Madika Ngilinayo.

Seperti halnya Madika Pudjananti, setelah mendengar penjelasan maksud dan tujuannya datang ke Kerajaan Sigi, lantas Madika Ngilinayo mempersilahkan Sawerigading untuk beberapa hari tinggal di Sigi. Selama maksud itu benar untuk persaudaraan, dan bukan untuk hal lain yang merusak ketenteraman kehidupan Kerajaan Sigi.

“Silahkan Tuan, jika memang maksud tuan adalah untuk persahabatan, dengan senang hati kami menerima tuan untuk berada disini selama yang tuan kehendaki,” ucap Madika Ngilinayo.

**
Waktu terus berjalan, sekian lamanya Sawerigading telah berada di Kerajaan Sigi, dia sering terlibat percakapan dengan Madika Ngilinayo, untuk membahas berbagai hal, mulai soal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, perdagangan, hingga kemungkinan membangun kerjasama antara kedua kerajaan yang mereka pimpin.

Berkali-kali bertemu dan sering terlibat perbincangan, Sawerigading mulai tidak mampu menyembunyikan kekaguman dirinya terhadap kharisma Madika Ngilinayo. Kagum itu berubah menjadi benih cinta. Meski seorang perempuan, wibawa dan ketegasan Madika Ngilinayo begitu jelas dari tiap ucapannya. Rakyat juga begitu taat dan patuh terhadap sabda dan titah sang ratu.

Kekaguman itu terus bergerak liar dalam jiwa Sawerigading, terus bersemi dan tumbuhlah benih-benih cinta terhadap sang ratu. Pesatnya pertumbuhan benih cinta dalam hati dan jiwa Sawerigading, membuat sang pelaut itupun tak lagi mampu membendung, untuk segera mengutarakan perasaaan itu kepada Madika Ngilinayo.

Sebagai To Manuru atau manusia turunan dari kahyangan, Madika Ngilinayo dengan cepat membaca situasi dari kondisi Sawerigading terhadapnya. Namun, Madika Ngilinayo tidak mempedulikannya. Dia tetap bersikap tenang, seolah tidak mengetahui dan tidak memperhatikan perubahan dalam diri Sawerigading.

Hingga pada suatu kesempatan, Sawerigading benar-benar tak mampu lagi membendung pergolakan dalam bantinnya. Sawerigading pun mengutarakan keinginannya kepada Madika Ngilinayo untuk mempersunting dirinya.

“Mohon maaf sebelumnya tuan, ada yang ingin saya sampaikan kepada Madika Ngilinayo,” ucap Sawerigading dengan nada suara agak gemetar.

“Oh…ada apakah gerangan Tuan Sawerigading, kelihatannya begitu penting,” jawab Madika Ngilinayo.

“Benar sekali madika, sangat penting, dan ini menyangkut hal yang sangat pribadi madika yang mulia,” lanjut Sawerigading dengan agak gugup.

Namun, Sawerigading tidak langsung mengutarakan keinginannya. Sebagai seorang raja yang memiliki pengalaman petualangan cukup tinggi, dia terlebih dahulu berusaha mengajak Madika Ngilinayo untuk memperluas perbincangan, sebelum seluruh pembahasan diarahkan ke pokok persoalan sebenarnya, menyampaikan cinta.

“Mohon maaf madika, saya ingin mempersunting Anda sebagai pendamping hidup saya,” ucap Sawerigading.

Kalimat itu membuat Madika Ngilinayo tersentak, namun dia berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Ungkapan perasaan Sawerigading itu, sedikit membuat dada Madika Ngilinayo terasa sesak. Terjadi pergolakan hebat dalam diri Madika Ngilinayo, namun bukan disebabkan adanya seorang raja yang meminang dirinya. Tetapi karena Madika Ngilinayo sudah memiliki calon suami.

Dan yang paling membuat Madika Ngilinayo gelisah adalah, upaya menemukan alasan yang tepat untuk menolak secara halus pinangan itu, sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan Sawerigading.

Tiba-tiba, Madika Ngilinayo mendapat bisikan ke dalam hatinya, yang menyarankan kepada dia untuk mengadakan adu atau sabung ayam milik mereka, disaksikan seluruh rakyat.

Disaat Madika Ngilinayo tengah diliputi kegelisahan, padangan matanya menerawang jauh hingga ujung langit, dan saat Madika Ngilinayo masih tenggelam dalam perenungannya, tiba-tiba Sawerigading yang masih menatap dirinya sambil menunggu jawaban, kembali bersuara;

“Bagaimana madika, saya ingin meminang Anda?”  Sawerigading kembali bersuara.

Jiwa Madika Ngilinayo benar-benar berada dalam pergulatan hebat, demi menemukan rangkaian kata yang tepat untuk penolakan secara halus itu, perlahan Madika Ngilinayo mengembalikan imajinasinya ke dunia nyata, bahwa dia harus segera mengucap jawaban itu.
“Hmmm……begini tuan, sebaiknya kita lakukan adu (sabung) ayam, kita adu ayam saya Calabai, melawan ayam milik tuan Sawerigading, Bakka Cimpolong itu,” jawaban itu membuat Sawerigading tersentak kaget.
Madika Ngilinayo memberi nama ayamnya Calabai, karena garak-geriknya yang seperti betina. Sedangkan, Bakka Cimpolong milik Sawerigading kelihatan sangat jantan. Namun kedua ayam itu telah dikenal ketangguhannya dalam setiap pertarungan oleh masing-masing rakyat kedua raja ini.
“Jika Calabai menang, berarti lamaran Tuan Sawerigading ditolak,” kata Madika Ngilinayo kembali bersuara.
“Bagaimana jika Bakka Cimpolong yang menang?,” sahut Sawerigading.
“Hmmm….kita lihat saja nanti,”  jawab Madika Ngilinayo.
“Baiklah, saya setuju,” timpal Sawerigading.
**
Adu ayam milik kedua raja telah disepakati. Punggawa Kerajaan Sigi bertugas menyampaikan peristiwa besar dan sangat penting ini kepada seluruh rakyat Kerajaan Sigi di segala penjuru.

Kemudian Sawerigading naik kembali ke atas kapalnya, untuk mengambil Bakka Cimpolong. Saat turun kembali dari kapalnya, tanpa oleh disadari Sawerigading, anjing peliharaannya yang bernama Labollong (Bugis=hitam) yang dalam keadaan lapar menyelinap ikut turun dari kapal, dan langsung berlari menghilang dibaling rerimbunan pepohonan hutan untuk mencari binatang buruan.

Tiba pada hari pertandingan, arena aduan ayam yang disebut dengan wala-wala, sudah disiapkan rakyat Kerajaan Sigi. Arena itu telah dikelilingi ribuan rakyat Madika Ngilinayo dan Sawerigading, demi menyaksikan peristiwa bersejarah itu.

Sorak-sorai rakyat kedua raja bergemuruh dengan meriahnya. Masing-masing memberi dukungan kepada raja dan ayam miliknya.

**
Sementara itu, didalam hutan, Labollong yang tengah kelaparan terus berlari mencari buruan. Tiba-tiba Labollong melihat seekor Anoa gemuk, kulitnya mengkilat tanda bahwa binatang yang tengah asyik menikmati rumput itu benar-benar sehat.

Tanpa berpikir panjang, Labollong segera mengendap untuk menyergap sang Anoa. Labollong benar-benar berhati-hati, agar tidak mengagetkan si Anoa, sehingga dia binatang itu lari.

Hingga pada jarak sergap, tanpa berpikir panjang Labollong langsung menyergap Anoa gemuk itu. Namun, Anoa itu tak lantas menyerahkan diri begitu saja kepada Labollong, dengan sekuat tenaga Anoa itu memberikan perlawanan dengan sengitnya.

Alhasil, Anoa itu berhasil terbebas dari sergapan si Labollong, kemudian Anoa itu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan Labollong.

Tak mau menyerah begitu saja, Labollong yang memang sudah sangat kelaparan itu segera berlari mengejar si Anoa, sambil melolong sekuat tenaga, karena geram binatang buruannya lolos dari sergapannya.

Saling kejar antara si Anoa dan Labollong sambil terus melolong keras itu, membuat kegaduhan dan memekakkan telinga seluruh makhluk penghuni hutan lainnya.

Si Anoa terus berlari meninggalkan Labollong. Begitupun Labollong, seolah lupa dengan lapar dan rasa lelah, sekuat tenaga dia terus berlari mengejar si Anoa.

Labollong yang kehilangan jejak si Anoa, kini telah berada dipinggiran dataran padang rumput yang luas. Ditempat itu Labollong masih terus melolong, begitu kerasnya suara lolongannya, sampai-sampai menimbulkan gemuruh laksana topan badai, dan bumi serasa bergetar.

Tak tahan mendengar suara lolongan si Labollong, seluruh makhluk penghuni dataran itu mulai merasa terusik. Tak terkecuali dengan sang penguasa tempat itu, seekor belut raksasa bernama Lindu, yang hidup bak raja di kawasan itu dalam lubang lumpur.
 Si Lindu pun segera bereaksi, dengan nada suara geram dia berteriak sekuat tenaga; “Haiii……siapakah gerangan diluar sana  yang telah berani mengganggu ketenangan kami,” teriak sang Lindu.

**
Sementara itu, didalam lingkaran wala-wala, arena pertarungan antara Calabai milik Madika Ngilinayo melawan Bakka Cimpolong milik Sawerigading, kedua ayam itu telah mulai bertanding. Masing-masing memberikan perlawanannya dengan sengit.

Hingga berjam-jam pertarungan sejak dimulainya pertandingan itu, belum terlihat tanda-tanda kekalahan salah satunya. Sengitnya pertarungan kedua ayam itu, menambah kemeriahan suasana. Rakyat yang menonton pertarungan itu nampak begitu terhibur sekaligus berdebar. Pasalnya menang-kalah pertarungan kedua ayam itu, adalah penentu hubungan kedua raja mereka.

Menyaksikan pertandingan itu, Madika Ngilinayo dan Sawerigading sama-sama terlihat tenang. Dan sejak awal, kedua raja yang arif dan bijaksana itu telah membangun kesepakatan. Bahwa adu ayam ini bukanlah semata sebagai  adu gengsi, meski hasil dari pertandingan ini menentukan hubungan keduanya kelak.

Karena sejak awal Madika Ngilinayo juga sudah menyampaikan kepada Sawerigading, apapun hasilnya yang terpenting adalah persahabatan dan persaudaraan. Jangan sampai hanya persoalan itu, lantas rakyat yang tidak tahu menahu urusan pemimpinnya, jadi korban ambisi para rajanya.

“Benar Madika Ngilinayo, memang begitulah adanya perjalananku mengunjungi banyak tempat, tak lain dan tak bukan adalah demi untuk persahabatan dan persaudaraan itu,” ujar Sawerigading.

Akhirnya mata kedua raja itu kembali tertuju kearah arena laga Cibalai dan Bakka Cimpolong. Batin keduanya berada dalam keheningan masing-masing, ditengah keramaian suasana adu ayam.

**
Dari dalam lubang sumur tempatnya tinggal si Lindu yang merasa terusik, namun pertanyaanya dijawab oleh si pembuat kegaduhan, Lindu mulai murka, karena merasa dilecehkan makhluk asing itu.

“Siapakah gerangan itu di luar sana, engkau yang telah mengusik suasana kami?,”  Lindu yang mulai murka itu kembali berteriak .

Namun makhluk asing pembuat kegaduhan itu tak juga menjawab pertanyaannya.  Justru lolongan Labollong bertambah keras dan panjang.

Tak tahan dengan sikap dan perilaku Labollong yang benar-benar membuatnya marah, Lindu pun beranjak mengeliat keluar dari dalam sumur tempat tinggalnya itu.

Sampai diluar, Lindu yang murka segera mendekati dan berhadap-hadapan dengan Labollong yang  juga geram karena gagal menangkap binatang buruannya.

Pertempuran hebat antara Lindu dan Labollong tak terelakkan lagi, begitu hebatnya hingga menimbulkan suara gemuruh dan getaran tanah yang besar yang terasa hingga pemukiman penduduk di desa sekitar tempat itu.

Adu kesaktian antara Lindu dan Labollong hingga menimbulkan kilat cahaya membelah  langit. Namun penduduk sekitar tempat itu tidak ada yang mengetahui, jika kilat, getaran tanah dan suara bergemuruh itu disebabkan pertarungan  Lindu dan Labollong.

Pertarungan hebat terus berlangsung dengan begitu sengitnya. Sementara sumur tempat tinggal Lindu dengan cepat terisi air, begitu cepatnya air itu mengisi lobang itu, hingga meluber keluar lubang dan menggenangi wilayah sekeliling tempat itu.

Genangan air yang terus meluas dan memenuhi tempat tinggal Lindu itulah, yang hingga saat ini disebut dengan Danau Lindu.

Pertarungan dahsyat terus berlanjut, hingga beberapa waktu lamanya belum terlihat ada satu pihak yang kalah. Meski tubuh-tubuh ke dua makhluk itu sama-sama telah terluka parah. Namun kedigdayaan keduanya belum sampai puncak.

Arena pertarunganpun meluas, keduanya saling kejar; saling tarik; dan saling terjang. Keberuntungan nampaknya berpihak kepada Labollong, dia berhasil mencengkeram Lindu dengan kuat, dan menarik Lindu dengan kuat kearah utara. Meski berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman Labollong, namun kuku dan taring Labollong lebih kuat tertancap di tubuh Lindu.

Lindu terus menggelepar, menggeliat membanting-bantingkan tubuh ke bumi, hingga membentuk liukan di permukaan bumi, diikuti aliran air luapan dari bekas tempat tinggalnya, dan kini bekas tubuh Lindu itu dipercayai sebagai Sungai Gumbasa atau Sungai Palu.

Sungai Palu itu membelah Kota Palu menjadi dua bagian, Palu bagian Timur dan Palu bagian barat.
Sementara Labollong terus berlari kearah utara, dengan tubuh penuh luka, dan akhirnya mati. Tubuhnya terseret yang terseret arus ombak itu, terdampar di suatu kampung. Darah yang masih terus keluar dari mayat Labollong sangat banyak, begitu banyaknya darah itu, membuat air laut di tempat terdamparnya mayat Labollong berubah warna menjadi hitam.

Dan kini kampong itu disebut dengan Desa Loli Tasiburi, dalam bahasa Kaili, etnis asli Lembah Palu, Tasi berarti Laut, dan Buri yang dalam bahasa sub etnis Kaili Ledo disebut Vuri yang berarti Hitam.

**
Ternyata, pertarungan hebat antara Labollong dan Lindu berdampak pula pada jalannya adu ayam milik Madika Ngilinayo dan Sawerigading.

Arena laga itu telah kocar-kacir sejak terjadi goncangan dahsyat disertai kilat dan petir terjadi, serta datangnya air bah dari arah selatan menuju tempat adu ayam, akibat pertarungan  antara Labollong dan Lindu.

Datangnya air bah, yang ternyata luapan dari lubang tempat tinggal Lindu selama ini, telah menerjang wala-wala. Yang tidak hanya menghentikan pertandingan antara Calabai dan Bakka Cimpolong, tetapi juga telah menghancurkan desa itu.

Terjangan air bah luapan dari lubang tempat tinggal Lindu, Lembah Palu yang pada masa itu masih berupa teluk, hingga mendesak air laut menuju arah utara.

Begitupula dengan kapal besar milik Sawerigading, meski dikenal besar, kuat dan kokoh ternyata tak mampu menahan terjangan air bah itu. Hingga membelah jadi beberapa bagian kapal.

Bagian badan kapal terlempar kearah barat Lembah Palu, hingga membentuk gundukan tanah yang kini diyakini sebagai Bulu (Gunung) Padanjakaya.  Kemudian, bagian layar kapal terlempar kea rah timur lembah Palu, yang kini disebut dengan Bulu (Gunung) Masomba.

**
Setelah berhasil terhindar dari terjangan air bah itu, Madika Ngilinayo dan Sawerigading beserta seluruh rakyatnya hanya bisa tertegun. Peristiwa itu benar-benar tak pernah terjangkau benak mereka, bahwa prahara itu bakal terjadi dengan begitu cepat dan hebatnya, meluluhlantakkan segala yang ada di hadapan mereka.

Saat semua masih tenggelam dalam kekalutan, tiba-tiba Madika Ngilinayo berucap kepada Sawerigading.

“Tuan Sawerigading, bagaimana kalau pertandingan ini kita anggap tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah. Demi rakyat kita semua, kita lanjutkan saja urusan ini, dengan menjalin persaudaraan dan kekerabatan, antara kita semua, saya dan tuan serta seluruh rakyat kita,” ucap Madika Ngilinayo mengembalikan kesadaran Sawerigading.

Sembari menarik nafas berat dan panjang, Sawerigading mengarahkan pandangannya kepada Madika Ngilinayo, sambul mengangguk perlahan.

“Anda sungguh benar madika. Memang, jauh lebih baik jika kita melepas segala ambisi, dan membangun persaudaraan serta kekerabatan adalah jauh lebih penting. Diatas keinginan dan kepentingan kita pribadi. Saya setuju, hasil pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Tapi kita lanjutkan dengan persaudaraan saja,” jawab Sawerigading.

Kebijakan pun kearifan kedua raja itu, seolah telah meregangkan syaraf  dan otot semua yang ada. Bahwa persaudaraan dan kekerabatan jauh lebih bernilai dalam hidup, dibandingkan nafsu dan ambisi para penguasa itu.

Sikap itu juga cerminan, dimana seorang penguasa harus meletakkan rakyat ditempat yang paling mulia dalam setiap sabda dan titahnya. Alam bergolak, tidak selamanya adalah kemurkaan dari sang pencipta, tetapi seringkali sebagai langkah –NYA untuk mengingatkan para hamba, agar senantiasa menghilangkan ambisi pribadi. Dan selanjutnya meletakkan cinta kepada sesama di dalam hati dan diri masing-masing kita. Sebagaimana filosofi hidup masyarakat Kaili, “Kita Pura Nosarara”  bahwa Kita Semua Bersaudara. ***


Dari penulis :
1.   Diolah kembali dari berbagai sumber, lisan dan tulisan, dengan tanpa menghilangkan substansi legenda masyarakat etnis Kaili. Suku asli Lembah Palu – Sulawesi Tengah.
2.      Cerita ini ada beberapa versi, namun pada inti substansi cerita pada dasarnya sama.
3.      Semoga beragam kisah, filosofi dari kehidupan masa lampau Etnis Kaili kian dikenal rakyat Indonesia.
 



FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Aginamo Updated at: 05:10:00

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan

Hosting Indonesia

Arsip Blog

Powered by Blogger.