Menjadi Jurnalis Profesional

Posted by

Sekitar tahun 2008 yang lalu, saya menemukan anak salah seorang petani garam di Kelurahan Talise Kecamatan Palu Timur, dan sudah sekitara enam bulan dia tidak sekolah karenamengidap Tumor Ganas. Esoknya saya muat di media tempat saya bekerja.


Kemudian, setelah berita tentang bocah penderita tumor ganas itu naik cetak, saya mengajak rekan saya dari Koran harian lain untuk mempertanyakan ke pihak Pemerintah Kota Palu, soal bagaimana keluarga tersebut dapat menggunakan fasilitas Jamkesda serta seluruh layanan bagi masyarakat umum untuk warganya. Namun rekan saya dari media lain tersebut menolak ajakan saya menemui pihak Pemerintah Kota Palu dengan alasan soal itu sudah pernah di muat di korannya.


Karena rumah keluarga tersebut, letaknya tepat dibelakang Puskesmas Talise, dan selama enam bulan itu tidak pernah mendapat pelayanan medis, jangankan seorang dokter mantri saja tidak pernah karena faktor biaya.


Alhamdulillah, setelah beberapa kali bisa naik cetak, saya punya alasan untuk mendesak Pemerintah Kota Palu beserta jajarannya, mulai Dinas Kesehatan, Direktur Rumah Sakit Daerahnya hingga kepala Puskesmas setempat, untuk memberikan layanan kesehatan dengan segera dan secara gratis. Walaupun pada akhirnya bocah itu meninggal juga, karena tumor itu sudah begitu parah menggerogoti tubuh si bocah.


Syukurnya, pemberitaan itu juga berhasil menarik simpati pembaca, hingga ada salah seorang pembaca media kami menelepon, dan menyarankan agara redaksi membuka rekening peduli.  Dan malam itu, saat hujan deras saya menuju rumah duka untuk mengantarkan amanah dari pembaca, jumlahnya sekitar dua jutaan.


Pengalaman terakhir, sekitar sebulan yang lalu, saya dan rekan-rekan jurnalis yang biasa meliput kegiatan pemerintah Kabupaten Sigi, terlibat diskusi kecil dengan Sekretaris Kabupaten Sigi, H Husen Habibu.


Singkatnya, dia yang memiliki latar belakang pernah menjadi wartawan, merasa risih dengan banyaknya wartawan, yang tidak hanya tidak jelas medianya, tetapi juga gaya bicara cara bertanya terhadap narasumber di lingkup pemerintah Kabupaten Sigi yang kurang simpatik.


***Menjadi seorang jurnalis, memiliki keterampilan menulis berdasarkan kaidah 5W 1H hukumnya adalah wajib. Disamping itu, seorang jurnalis juga harus memilki kemampuan atau tehnik mewawancarai narasumber. Sedangkan untuk wawasan terhadap suatu persoalan yang hendak ditanyakan kepada narasumber dengan agak mendalam sifatnya relatif, tidak harus.Namun, untuk menjadi seorang jurnalis, tidak cukup hanya memiliki keterampilan menulis semata. Ada pula rambu-rambu yang harus dipatuhi seorang jurnalis ketika dia bekerja, rambu-rambu itu yang disebut dengan etik. Jika seorang jurnalis bekerja dengan mematuhi rambu-rambu, maka berita yang disajikan tidak akan menjadi petaka bagi obyek berita atau bagi jurnalis itu sendiri.


Seorang jurnalis juga harus memiliki kekuatan untuk meletakan nilai-nilai kebenaran di setiap goresan tintanya. Sebab, nilai-nilai kebenaran harus menjadi ruh dari setiap tarikan nafas seorang jurnalis. Dan bukan keberpihakan terhadap siapa yang memiliki uang dan kepentingan pribadi seseorang.


Artinya, saat bekerja seorang jurnalis harus mengawinkan tiga prinsip tersebut diatas dalam dirinya, yakni keterampilan/kecakapan, kode etik kemudian keberpihakan terhadap nilai-nilai kebenaran. Ketiga prinsip tersebut harus menjadi nafas seorang jurnalis, jika tidak sebuah karya jurnalistik tidak mustahil akan menjadi petaka bagi seseorang, bahkan akan membawa petaka bagi jurnalis itu itu sendiri.


Karena, keberhasilan seorang jurnalis mengawinkan kemudian menjalankan ketiga prinsip tersebut, setidaknya menurut pribadi saya dialah seorang jurnalis professional.



FOLLOW and JOIN to Get Update!

Social Media Widget SM Widgets




Aginamo Updated at: 07:57:00

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan

Hosting Indonesia

Arsip Blog

Powered by Blogger.