Tanggal 13 September 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) menancapkan tonggak kemerdekaan pers di Indonesia, dengan disahkannya Undang-Undang (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang kekebasan pers.
Sejak saat itu, pers di Indonesia, baik itu media cetak, elektronik maupun siber memiliki kesempatan untuk bekerja dengan lebih tenteram.
Secara umum, UU no 40 tahun 1999 menjelaskan hak dan kewajiban pers, baik kepada Negara maupun kepada khalayak umum.
Pasal 4
Ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
Menjelaskan yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Namun, kebebasan pers juga disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hokum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik.
Ayat (2): Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan siaran.
Ketentuan umum, penyensoran, Pasal 1: 8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan bersifat mengancam dari pihak mana pun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Ketentuan umum, Pasal 1:9. Pembredelan atau pelarangan siaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
Penjelasan: pembredelan, penyensoran, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dengan ketentuan UU yang berlaku.
Ayat (3): Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasionalmempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Ayat (4): dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Ketentuan Umum, Pasal 1:10. Hak Tolak adalah hak tolak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan.
Penjelasan: Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan . Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan Negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pasal 8
Ayat (1): Setiap orang yang secara hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,oo (lima ratus juta rupiah.
Salah satu bagian penting dalam UU ini adalah bahwa makna “pers” tidak hanya berlaku untuk karya jurnalistik media cetak, melainkan juga untuk media elektronik. Karena pada waktu itu Kebebasan Pers bagi media elektronik belum terlindungi. Namun, baru kemudian perbaharuan UU penyiaran.
Akan tetapi, jaminan dan perlindungan bagi kebebasan pers ini bukan berarti tanpa control. Hanya saja, kontrol kini tidak lagi berasal dari pemerintah, melainkan dari hukum dan dari masyarakat. Kontrol yang dimaksud, umpamanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 13.
Pasal 5
Ayat (1): Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asa praduga tak bersalah.
Maksudnya, pers nasional tidak boleh menyajikan berita yang menghakimi dan membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi dalam kasus-kasus yang masih dalam prose pengadilan. Dan seharusnya mengakomodasikan kepentingan semua pihak terkait dalam pemberitaan tersebut.
Ayat (2): Pers wajib melayani Hak Jawab.
Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Ayat (3): Pers wajib melayani Hak Koreksi
Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Pasal 13
Perusahaan pers dilarang memuat iklan :
a. Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
b. Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Ketentuan Pidana, Pasal 18
Ayat (2): Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,oo (lima ratus juta rupiah).
***
Kebebasan atau yang juga sering disebut dengan kemerdekaan pers, sebagaimana diatur dalam UU nomor 40 tahun 1999, membuka kran kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat seluas-luasnya bagi setiap warga Negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam konstitusi Negara ini.
Lahirnya UU nomor 40 tahun 1999 ini, seolah menjadi momentum terbukanya pintu kebebasan untuk mendirikan perusahaan pers dan jurnalis, entah itu yang professional ataupun sekedarnya. Tidak sedikit juga lahir perusahaan pers maupun jurnalis yang sering disebut dengan pers “abal-abal”.
Mudahnya mendirikan pers serta dikeluarkannya kartu pers, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan pengertian tentang semangat dari UU nomor 40 tahun 1999, tidak jarang pula menciptakan penilaian negatif di sebagian masyarakat terhadap dunia pers.
Beberapa kasus terjadi dari ulah sejumlah oknum jurnalis dan perusahaan pers “abal-abal” melakukan pemerasan dan intimidasi terhadap pejabat intansi pemerintah dan swasta. Persoalan yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan bagi kalangan pers sendiri untuk menghilangkannya.
Kalangan pers harus menciptakan iklim sebagai sarana seleksi, untuk membedakan mana perusahaan pers dan jurnalis professional dengan yang “abal-abal”, salah satunya adalah Uji Kompetensi Jurnalis, semoga.
0 komentar:
Post a Comment